Pernahkah kalian
mendengar tentang Dinar Dirham? Pasti jika kita mendengar tentang Dinar dan
Dirham selalu dikaitkan dengan investasi emas. Tetapi sesungguhnya Dinar Dirham
bukanlah alat investasi melainkan fungsi aslinya adalah sebagai alat
pembayaran.
sebagian besar dari
kita mungkin juga tak pernah tahu kalau Dinar dan Dirham pernah dibuat dan
berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi. Ya, sejak abad ke-14 nenek moyang
kita telah akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham pernah mendominasi
pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten,
Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku.
Lalu bagaimanakah Dinar
Dirham itu? Dinar adalah koin emas berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25
gram. Sedangkan Dirham perak adalah koin perak murni (99.95%) dengan berat
2,975 gram. Standar Dinar dan Dirham ini telah ditetapkan oleh Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 1 Hijriyah, dan kemudian ditegakkan
oleh Khalifah Umar ibn Khattab, pada tahun 18 Hijriyah, saat untuk pertama
kalinya Khalifah Umar ibn Khattab mencetak koin Dirham. Sedangkan orang yang
pertama kali mencetak Dinar emas Islam adalah Khalifah Malik ibn Arwan pada
tahun 70 Hijriah, dengan tetap mengacu kepada ketentuan dari Rasul maupun Umar
ibn Khattab, yaitu dalam rasio berat 7/10 (7 Dinar berbanding 10 Dirham).
Dinar emas dan Dirham
perak merupakan nuqud nabawi yang berlaku sebagai alat tukar yang sah sejak
masa Rasulullah, para sahabat, sampai masa-masa pemerintahan Islam selanjutnya
hingga berakhirnya Daulah Utsmani (1924). Sebagai nuqud, Dinar emas dan Dirham
perak, memiliki status yang berbeda dari alat tukar jenis ketiga, yakni fulus,
yang berlaku dengan nilai tukar yang sangat kecil (di bawah 1 Dirham atau ½
Dirham), yang secara tradisional terbuat dari tembaga. Dinar emas dan Dirham
perak adalah harta (mal) yang dalam batas nisab tertentu terkena kewajiban
zakat, dan dengan keduanya pula zakat maal dapat dibayarkan, sedangkan fulus
tidak terkena kewajiban zakat dan juga tidak dapat digunakan sebagai alat pembayar zakat mal.
Baik Dinar maupun
Dirham disebutkan secara spesifik di dalam al Qur’an, di mana Dinar emas
mengacu pada nilai tukar yang besar, sedangkan Dirham perak mengacu pada nilai
tukar yang lebih kecil. Bersamaan dengan berakhirnya Daulah Utsmani, Dinar dan
Dirham, serta fulus, turut hilang dari peredaran dalam masyarakat.
Akibatnya berbagai
macam ketentuan dalam syariat Islam, seperti kewajiban berzakat, ketentuan tentang diyat dan hudud, serta
sunnah seperti pembayaran mahar, sedekah, maupun ketentuan dalam muamalat
(shirkat, qirad, dsb) tidak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Akibat lain dari
hilangnya Dinar dan Dirham adalah masyarakat terus-menerus menanggung akibat
dari merosotnya nilai alat tukar modern yang diberlakukan saat ini yaitu uang
kertas. Kemiskinan menjadi fenomena umum akibat inflasi yang tiada berhenti.
Berkali-kali, sepanjang zaman modern di abad ke-20 sampai memasuki abad ke-21
ini, kita dihadapkan dengan apa yang disebut sebagai ”Krisis Moneter”, yang tak
lain akibat dari sistem uang kertas, yang sepenuhnya berbasis pada riba.
Nilai Dinar dan Dirham
selalu naik dari waktu ke waktu. Secara praktis dalam kehidupan sehari-hari
Dinar dan Dirham, demikian halnya dengan Fulus yang meskipun terbuat dari
tembaga tapi karena nilainya diikat dengan Dirham perak, memberikan keuntungan
karena bebas inflasi. Dalam semua mata uang kertas kurs Dinar dan Dinar naik
dari tahun ke tahun. Untuk mengambil
contoh kita bandingkan kurs Dinar emas dalam dolar AS dalam kurun satu dekade
terakhir. Nilai 1 Dinar emas pada 2000 adalah 38 USD dan pada 2011 Januari
adalah 190 USD. Berarti ada kenaikan 150 USD atau 395%/11 tahun atau rata-rata
36%/tahun (lihatGrafik).
Implikasi dari kenaikan
nilai yang terus menerus tersebut adalah biaya-biaya dan harga barang dan jasa
dalam Dinar emas akan sangat stabil, bahkan turun. Sekadar mengambil satu
contoh pada harga semen (di Jakarta). Pada tahun 2000 nilai tukar 1 Dinar emas
adalah sekitar Rp 400.000, harga satu zak semen sekitar Rp 20.000/zak, maka 1
Dinar emas dapat dibelikan 20 zak semen. Pada tahun 2011 (Januari) harga satu
zak semen yang sama menjadi sekitar Rp 50.000/zak, sedangkan nilai tukar Dinar
emas adalah Rp 1.690.000. Maka satu Dinar emas pada awal 2011 dapat dibelikan
32 zak semen. Dengan kata lain harga semen/zak dalam kurun 2000-2010 dalam
rupiah mengalami kenaikan sebesar 150%, tetapi dalam Dinar emas justru
mengalami penurunan sebesar (-) 40%!. Contoh lain yang penting bagi umat Islam
Indonesia bila Dinar dan Dirham digunakan adalah pada biaya ibadah haji, yang
terus menerus naik dalam rupiah, tetapi justru turun kalau dinilai dengan Dinar
emas.
Dinar emas dan Dirham
perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak
awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari
oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan
dengan bahan makanan pokok, dahulu harga seekor ayam pada masa Rasulullah
adalah satu Dirham, dan saat ini, 1.400 tahun kemudian, harga seekor ayam
tetaplah satu Dirham. Selama 1.400 tahun nilai inflasinya adalah nol. Dapatkah
kita melihat hal yang sama terhadap Dollar atau mata uang lainnya selama 25
tahun terakhir ini?
Abu Bakr ibn Abi Maryam
meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallalahu‘alaihi wasallam, berkata:
“Akan datang masa ketika tak ada lagi yang dapat dibelanjakan kecuali Dinar dan
Dirham. Simpanlah Dinar dan Dirham.” (HR. Ahmad bin Hambal)
Untuk standarisasi
berat uang Dinar dan Dirham mengikuti Hadits Rasulullah,”Timbangan adalah
timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR.
Abu Daud). Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi
bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama di Kekhalifahan, standar
hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 Dinar sama
dengan berat 10 Dirham.
Kembali lagi
Sejak tahun 1992,
kalangan cendekia telah mengupayakan pemakaian kembali Dinar emas dan Dirham
perak, bersama-sama dengan fulus, baik untuk keperluan pembayaran zakat maupun
bermuamalat. Sejak 2002 Dinar emas dan Dirham perak juga telah mulai beredar
dan digunakan oleh kaum Muslim di Indonesia. Meski masih dalam skala terbatas
penerapan kembali Dinar emas dan Dirham perak telah membuka pintu-pintu bagi
pengamalan kembali berbagai sunnah Nabi yang dalam waktu satu abad terakhir ini
telah hilang.
Di Indonesia saat ini
Dinar dan Dirham hanya diproduksi oleh Logam Mulia – PT. Aneka Tambang Tbk.
Hanya perusahaan tersebut yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu
memproduksi Dinar dan Dirham dengan kadar dan berat sesuai dengan standar Dinar
dan Dirham Rasulullah. Standar kadar dan berat inipun tidak hanya di
sertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), tetapi juga
oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui yaitu
London Bullion Market Association(LBMA).
Seperti di awal Islam
yang menekankan Dinar dan Dirham pada berat dan kadarnya, bukan pada tulisan
atau jumlah/ukuran/bentuk keeping, maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta
berat dan kadar perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini
memenuhi syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.
Pergerakkannya dapat dilihat langsung di www.wakalanusantara.com dan
www.geraidinar.com
Sumber: http://zonaekis.com
(yang di tulis oleh: Nur Azifah, Head of Public Relation Sharia Economic Forum
of Gunadarma University 2011 – 2012)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !