PRODUKSI DAN
KONSUMSI DALAM AL-QUR’AN:
APLIKASI TAFSIR
EKONOMI AL-QUR’AN
Produksi
dan konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan
keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan
produktivitas tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi rendah mengakibatkan
lemahnya produksi dan distribusi, bahkan roda perekonomian. Namun tingginya
pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasar,
menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi, instabilitas harga di
pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain. Bagaimanakah
menyeimbangkan pola konsumsi dan
produksi secara proporsional dalam perekonomian?
Pola
konsumsi dan perilaku produksi menentukan roda perekonomian. Al-Qur’an sebagai
sumber ajaran, memiliki ajaran tentang konsumsi, produksi dan distribusi
disamping aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya. Di antara ayat konsumsi
misalnya al-Baqarah(2): 168, al-Isra(17): 26-28, an Nahl (16): 114. Dalam
ayat-ayat tersebut terkandung prinsip halal dan baik, tidak diperkenankannya
perilaku berlebihan, pelit, boros, harus seimbang, proporsional dan pertanggung
jawaban. Dalam al-Baqarah(2): 22, 29
an-Nahl(16): 5, 11, 65-71, Lukman (31) 20, al-Mulk (67): 15, yang
merupakan ayat produksi mengandung
ajaran bahwa kegiatan produksi harus memenuhi kebutuhan masyarakat,
menimbulkan kemaslahatan, tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Demikian pula
dalam ayat-ayat distribusi seperti
al-Anfal(8): 1, al-Hasyr(59): 7, al-Hadid(57): 7, at-Taubah(9): 60
mengandung nilai larangan keras penumpukan harta benda atau barang kebutuhan
pokok pada segelintir orang. Pola distribusi
harus mendahulukan aspek prioritas berdasarkan need assessment.
Dengan
pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an, pemahaman terhadap ayat-ayat kunci di atas
diharapkan mencapai pemahaman yang proporsional tentang produksi, distribusi
dan konsumsi. Sebagai sebuah metodologi baru dalam pemahaman al-Qur’an,
memungkinkan sampai pada kontekstualisasi nilai-nilai ekonomi al-Qur’an dalam praktek perekonomian.
Dari pemahaman itu pula diharapkan dapat
dijadikan pedoman bagi perilaku ekonomi baik tataran individu maupun masyarakat
sehingga keseimbangan perekonomian dapat tercapai. Kasus-kasus seperti over
heating pada perilaku pasar yang dipastikan melambungkan laju inflasi setiap
bulan puasa dan hari Raya Idul fitri,
Tahun baru, hari-hari raya dan lain-lain dapat dieliminir melalui sikap dan
perilaku ekonomi masyarakat.
PENDAHULUAN
Al-QUR’AN
merupakan sumber penggalian dan pengembangan
ajaran Islam. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan dipersyaratkan
suatu kualifikasi dan keyakinan kuat
untuk menghasilkan pemahaman yang tepat mengenai perilaku kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Islam yang bersumber
dari al-Qur’an mempunyai peluang yang
sama dengan pengembangan keilmuan lainnya. Sayang, ilmu ini dirasakan
tertinggal, walaupun kebutuhan terhadap suatu sistem ekonomi baru yang lebih
menjanjikan kesejahteraan dan kemaslahatan sudah sangat mendesak. Dengan
demikian pengembangan ilmu ekonomi Islam menjadi sesuatu yang bersifat
dharuriyah.
Sebagai
sebuah metodologi, tafsir ekonomi al-Qur’an memberi peluang bagi pengembangan
ilmu ekonomi Islam. Model ini mempunyai tahapan kerja sebagai berikut: pertama,
menginventarisasi ayat-ayat yang terkait dengan permasalahan ekonomi yang akan
dibahas, baik berdasar pada kata kunci maupun pada kandungan ayat secara umum
maupun khusus. Kedua, menafsirkan ayat-ayat tersebut baik berdasar urutan ayat
dalam mushaf atau berdasar urutan turunnya surat. Ketiga, model penafsiran yang
digunakan adalah maodlui dengan corak adabi al-ijtima’i wal-iqtishadiyyah.
Keempat, melakukan konstektualisasi dalam realitas perekonomian.
Tulisan
ini akan membahas tentang aplikasi tafsir ekonomi dalam masalah produksi dan
konsumsi. Pilihan atas masalah ini didasarkan pada kebutuhan terhadap suatu
pola produksi dan konsumsi yang seimbang dalam tatanan perekonomian. Produksi
dan konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan
keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan
produktivitas yang tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi rendah
mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan menurunkan kinerja dan
roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi,
instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain.
Secara bertahap akan dibahas produksi dan kemudian konsumsi. Tahapan pembahasan
ini tidak dimaksudkan sebagai urutan pola baku dalam perekonomian, karena pada
dasarnya dalam ekonomi Islam, jumlah produksi tidak ditentukan semata-mata oleh
ukuran kebutuhan pola konsumsi masyarakat, melainkan didasarkan pada kebutuhan
terhadap kemaslahatan masyarakat.
PRODUKSI
Dalam
ekonomi Islam, produksi mempunyai motif kemaslatan, kebutuhan dan kewajiban.
Demikian pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan usaha seseorang atau
kelompok untuk melepaskan dirinya dari
kefakiran. Menurut Yusuf Qardhawi (1995), secara eksternal perilaku produksi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan setiap individu sehingga dapat membangun
kemandirian ummat. Sedangkan motif perilakunya
adalah keutamaan mencari nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna
dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan
berusaha pada sesuatu yang halal. Karena itu dalam sebuah perusahaan misalnya,
menurut M.M. Metwally asumsi-asumsi
produksi, harus dilakukan untuk barang halal dengan proses produksi dan pasca
produksi yang tidak menimbulkan ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan
untuk melakukan usaha produksi.
Berdasarkan
pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan , pertimbangan
perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given
demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai
landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas
produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusahaan diberikan kebebasan
untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi
permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil
masyarakat terabaikan.
Dari
sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan
suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk
menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value
added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai
berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi
dilakukan, mengapa suatu produk
diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan
dan siapa yang memproduksi?
Berikut
akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi
1. Apa
yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari
pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang
harus dipenuhi masyarakat(primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif
bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
2. Berapa
kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah pruduksi dipengaruhi dua
faktor; intern dan ekstern; faktor
intern meliputi; sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal,
faktor sdm, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya
jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan
dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3. Kapan
produksi dilakukan
Penetapan
waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat
kesiapan perusahaan.
4. Mengapa
suatu produk diproduksi
a. alasan
ekonomi
b. alasan
sosial dan kemanusiaan
c. alasan
politik
5. Dimana
produksi itu dilakukan
a. kemudahan
memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b. murahnya
sumber-sumber ekonomi
c. akses
pasar yang efektif dan efisien
d. biaya-biaya
lainnya yang efisien
6. Bagaimana
proses produksi dilakukan: input- proses
– out put - out come
7. Siapa
yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu
Dengan
demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how
much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom),
yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada
motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
Bagaimanakah,
al-Qur’an memberikan landasan bagi aktivitas produksi? Secara spesifik di
antara ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan sumber nilai dan pesan mengenai
tema ini adalah Qs al-Baqarah(2): 22,
an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81 al-Maidah(5): 62-64.
Dari urutan surat-suratnya, dalam mushaf al-Qur’an ayat-ayat di atas terdiri
atas; al-Baqarah(2): 22, QS
al-Maidah(5): 62-64, an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81.
Adapun
dari tipologi surat Makkiyah dan
Madaniyah; surat an-Nahl tergolong surat
Makkiyyah yaitu surat al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad melakukan
Hijrah ke Madinah, dan surat al-Baqarah dan termasuk golongan surat Madaniyyah.
Dari pengelompokan itu, maka kita dapat memulai pembahasan dari surat an-Nahl
dan kemudian membahas ayat pada surat Madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2): 22, dan al-Maidah (5):
62-64 Qs
an-Nahl(16):
5-9,
5. Dan dia Telah menciptakan binatang
ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai
manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.
6.
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya
kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7.
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup
sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
8.
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bigal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya.
9.
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau dia menghendaki, tentulah dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).
an-Nahl(16):10-11,
10.
Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu,
sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan,
yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
11.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
an-Nahl(16):14,
14.
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
an-Nahl(16):65-
70,
65. Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan)
dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).
66. Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa
yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67. Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari
perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.
70. Allah menciptakan kamu, Kemudian mewafatkan
kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah
(pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
an-Nahl(16):80-
81
80. Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu
sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah)
dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu
berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu
onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai)
sampai waktu (tertentu).
81. Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung
dari apa yang Telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal
di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu Pakaian yang memeliharamu dari panas
dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah
Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).
al-Maidah(5):
62-64,
62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka
(orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.
Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka Telah kerjakan itu.
63. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta
mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang
haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan
Allah terbelenggu", Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan
merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak
demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana
dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang membuat kerusakan.
Dari
paparan terjemahan dalam kedua surat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa
setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada
di sekitar kita (dalam ayat-ayat diatas; binatang ternak, pegunungan; tanah
perkebunan, lautan dengan kekayaannya, ingat lagi pandangan al-Qur’an tentang
harta benda yang disebut sebagai Fadlum minallah) sebagai media untuk kehidupan
di dunia ini, lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum
miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros. Pada surat
al-Isra(17): 30 Allah menegaskan; Dia lah yang menjamin atau telah menyediakan
rezeki untuk manusia. Di sinilah manusia tinggal berusaha secara optimal
sebagai media untuk meraih rezeki itu.
Sifat
ekonom muslim dengan demikian dalam perilaku produksi selayaknya mengikuti
gambaran pada surat an-Nahl. Pada ayat ke lima di atas, yang mengandung makna
bahwa kegiatan produksi dilakukan secara berkesinambungan tanpa melakukan
kerusakan. Hal ini terlihat dari penggunaan fi’il mudhari’. Produsen muslim
sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom
yang bersifat seperti digambarkan pada surat al-Maidah di atas yaitu menjalankan
dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan, berlawanan dengan
sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Walau bagaimanapun,
secanggih alat untuk menghitung nikmat Allah pasti tidak akan menghitungnya.
Dengan demikian mengambil pelajaran dan berguru kepada alam merupakan bagian dari aplikasi syukur atas nikmat Allah
yang tiada pernak terhitung itu;
an-Nahl(16):18
18. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan
demikian, menurut Muhammad Abdul Mannan , berdasarkan pertimbangan
kemashlahatan (altruistic considerations) perilaku produksi tidak hanya
menyandarkan pada kondisi permintaan pasar (given demand conditions). Karena
kurva permintaan pasar tidak cukup memberikan data untuk sebuah perusahaan
mengambil keputusan. Dalam system konvensional, perusahaan diberikan kebebasan
untuk berproduksi, namun cenderung lebih terkonsentrasi pada output yang memang
menjadi permintaan pasar (effective demand), dimana kebutuhan riil dari
masyarakat tidak dapat begitu saja mempengaruhi prioritas produksi sebuah
perusahaan.
Memang
diakui pula bahwa dalam Islam orientasi keuntungan menjadi salah satu tujuan
dari aktifitas produksi, namun rambu-rambu syariah membuat corak prilaku
produksi tidak seperti yang dibangun system konvensional. Perilaku produksi
yang ada pada konvensional terfokus pada maksimalisasi keuntungan (profit
oriented). Boleh saja pada suatu kondisi (pada satu pilihan output dengan
konsekwensi harga tertentu) oleh konvensional dinilai tidak optimal, tapi
berdasarkan nilai kemashlahatan baik bagi perusahaan maupun lingkungannya
(pertimbangan kebutuhan masyarakat, kemandirian negara dll), hal ini dapat di
katakan optimal.
Menurut
Mannan, keseimbangan output sebuah perusahaan hendaknya lebih luas, sebagai
perwujudan perhatian perusahaan terhadap kondisi pasar. Pendapat ini didukung
oleh M.M. Metwally, bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi
oleh variable tingkat keuntungan (level of profits) tapi juga oleh variable
pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Demikian pula menurut Ghazali bahwa dalam
perilaku produksi dan konsumsi bertujuan mencapai posisi muzakki dengan
berusaha mendapatkan harta sebanyak yang kita mampu, namun tetap
membelanjakannya di jalan Allah SWT. Ini dilakukan dengan semangat hidup hemat
dan tidak bermewah-mewah. Dengan kata lain perilaku produksi dan konsumsi
adalah perilaku yang bertujuan menjauhi posisi fakir, sesuai dengan peringatan
Rasulullah SAW bahwa kefakiran mendekatkan manusia pada kekufuran.
KONSUMSI
Terdapat
empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam al
Qur’an:
1. Hidup
hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living),
yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan
kebutuhan hidup(needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi
zakat (implementation of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan
obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat
pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak,
shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan
Riba (prohibition of riba); menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing)
dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit
(credit system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan
usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari maisir dan gharar;
meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses
distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari
empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta.
Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi
tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok
kehidupan (an-Nisa(4) :5) yang merupakan karunia Allah (an-Nisa(4) :32. Islam
memandang segala yang ada di di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT,
sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah
manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara
yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Sebaliknya
dalam perspektif konvensional, harta merupakan asset yang menjadi hak pribadi.
Sepanjang kepemilikan harta tidak melanggar hukum atau undang-undang, maka
harta menjadi hak penuh si pemiliknya. Dengan demikian perbedaan Islam dan
konvensional tentang harta, terletak pada perbedaan cara pandang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan
flow concept sedangkan konvensional memandangnya berdasarkan stock concept.
Adiwarman
membahas harta, dimasukan dalam pembahasan uang dan kapital. Menurut beliau
uang dalam Islam adalah public goods yang bersifat flow concept sedangkan
kapital merupakan private goods yang bersifat stock concept. Sementara itu
menurut konvensional uang dan kapital merupakan private goods .
Namun
pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan
oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang
kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan
demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan
menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
1. Ketika
keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau
berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan
dan kewajiban.
2. Ketika
keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi
hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan
oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat
individualistis.
3. Ketika
keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan
didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan
rasionalisme.
Demikian
pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai
bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah
(kebahagiaan dunia dan akherat). Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya
adalah mashlahah (public interest or general human good) atas
kebutuhan dan kewajiban.
Sementara
itu Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa
variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada
barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi
hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi
merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk
meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan
kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah), baik dengan
membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal
shaleh bagi sesamanya. Sedangkan pada perspektif konvensional, aktifitas
konsumsi sangat erat kaitannya dengan maksimalisasi kepuasan (utility). Sir
John R. Hicks menjelaskan tentang
konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan
(utility) yang tergambar dalam kurva indifference (tingkat kepuasan yang sama).
Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat
pendapatannya (income sebagai budget constraint).
Dalam
al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata kulu dan isyrabu
terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan
makan dan minumlah (kulu wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai
ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari
akar kata akala dan syaraba
selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Diantara
ayat-ayat konsumsi dalam al-Qur’an adalah Albaqarah(2): 168, 172, 187,
al-Maidah(5): 4, 88, al-An’am(6) 118,
141, 142, al-A’raf(7):31, 160, 161, al-Anfal(8): 69, an Nahl (16): 114,
al-Isra(17): 26-28, Toha(20): 54, 81, al-Hajj(22): 28, 36, al-Mukminun(23): 51,
Saba(34): 15, at-Tur(52): 19, al-Mulk (67): 15, al-Haqqah(69): 24,
almursalat(77): 43, 46 dan lain-lain.
Dalam
tulisan ini hanya akan difokuskan pada ayat-ayat berikut:
Albaqarah(2):
168,
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
an
Nahl (16): 114
114.
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja
menyembah.
Pada
kedua ayat secara tegas, terdapat
prinsip halal dan baik, prinsip keiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur
dan prinsip tauhid. Dengan prinsip-prinsip demikian, maka pola konsumsi
seseorang dan juga masyarakat, diarahkan
kepada kebutuhan dan kewajiban berdasakan standar-standar prinsip di atas.
Demikian pula, dalam ayat-ayat berikut;
al-Isra(17):
26-28,
26.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
27.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
28.
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu
yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas.
Al-A’raf,7 :31-32
31.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
32.
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)
di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang Mengetahui.
Pada
kedua ayat di atas, terdapat prinsip menjauhkan diri dari kekikiran baik pada
diri sendiri maupun terhadap orang lain. Demikian pula terdapat prinsip
proporsionalitas dalam melakukan aktivitas konsumsi. Dan prinsip pertanggung jawaban dalam setiap
aktivitas konsumsi. Hal ini berdasar pada ayat al-Mulk(67): 15.
Bagaimanakah,
memproporsionalkan antara kebutuhan dan keinginan dalam aktivitas konsumsi?
Diakui bahwa aktifitas ekonomi berawal dari kebutuhan manusia untuk terus hidup
(survive) di dunia. Segala keperluan untuk bertahan untuk hidup akan sekuat
tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan hidup tidak dapat dipenuhi
sendiri menyebabkan adanya berbagai interaksi untuk proses pemenuhan keperluan
hidup manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi
permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga memunculkan
pasar sebagai wadah interaksi ekonomi.
Pemenuhan
keperluan hidup manusia secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan.
Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan yang
bersifat dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih
tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori
Maslow ini merujuk pada pola pikir individualistic-materialistik.
Dalam
Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup boleh jadi seperti yang Maslow gambarkan,
namun pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (kebutuhan dasar) akan
dilakukan ketika secara kolektif yaitu kebutuhan dasar masyarkat sudah pada
posisi yang aman. Ketika, masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka
tidak akan ada implikasi negatif yang muncul. Dengan demikian diperlukan peran
negara dalam memastikan hal ini. Di akui ada beberapa mekanisme dalam system
ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan
negara.
Parameter
kepuasan dalam ekonomi Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit
(materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal
shaleh yang manusia perbuat. Kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang
manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin dari Allah SWT melalui amal
shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang
dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau
mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan bathin.” (QS Lukman(31): 20)
Apa
yang diungkapkan Hasan Al Banna, menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan
ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi
Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi
juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak,
pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Dari
pembahasan keperluan hidup manusia, penting untuk di bahas perbedaan kebutuhan
dan keinginan. Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan
“keinginan” (wants) dalam motif aktifitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak
ketentuan perilaku ekonomi Islam, motif “kebutuhan” (needs) lebih mendominasi
dan menjadi nafas dalam roda perekonomian dan
bukan keinginan.
Kebutuhan
(needs) didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk
kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire
(kemauan) manusia atas segala hal. Ruang
lingkup keinginan lebih luas dari kebutuhan. Contoh sederhana menggambarkan
perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam perilaku konsumsi pada air untuk
menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin
cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan
keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang
tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Namun
perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam sifatnya tidak statis,
artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat
ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang
yang dulu dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih
baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang
membedakan definisi kebutuhan dan keinginan
tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta
ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan, konsumsi barang tertentu
dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat
dalam keadaan susah.
Dengan
demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku ekonomi Islam tidak didominasi
oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu. Terdapat nilai diluar
diri manusia yang kemudian membentuk perilaku ekonomi. Nilai ini diyakini
sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.
PENUTUP
Tulisan
ini hanya baru sampai pada tataran permukaan dari ancangan aplikasi tafsir
ekonomi al-Qur’an dan kontektuasliasinya dalam realitas perekonomian riel dan
untuk mengatasi seperti penyakit-penyakit ekonomi. Kerja sama, antar peminat
bidang ekonomi Islam dari berbagai kalangan dan latar belakang keilmuan, dalam
kaitan ini sangat diperlukan untuk mencapai ancangan tersebut. Wallauhu a’lam
DAFTAR PUTAKA
Al
Banna, Hasan. Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta 1997
Baqi,
Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Mufahrasy
lialfadzi Qur’an
Chapra,
Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi, pent. Ikhwan Abidin Gema Insani Press 2000
Depag
RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, 1989
Karim,
Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The International
Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002
Khan,
Muhammad Akram ‘The Role of Government in the Economy,” The American Journal of
Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997
M.
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, pent. M Mustangin, Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf1997
Mannan,
M.A. “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia
Metwally,
M.M. “A Behavioural Model of An Islamic Firm,” Readings in Microeconomics: An
Islamic Perspektif, Longman Malaysia 1992
Muhammad
dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an
tentang Etika dan Bisnis. Salemba Diniyah, 2002
Munawir,
Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Pondok Pesantren Krapyak 1983
Qardhawi,
Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, pent.Zainal Arifin Gema Insani Press,
1997
Qardhawi,Yusuf.
“Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Rabbani Press, Jakarta 1995.
Sammuelson,
Paul A dan William D Nordhaus, Ekonomi
pent.A Jaka Wasana, Surabaya: Penerbit erlangga, 1991
Sukirno,
Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi,
Rajawali Press Jakarta, 2002.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !