Gharar
(Ketidakpastian) Dalam Asuransi Syariah
(Sumber: www.syakirsula.com)
Gharar (Ketidakpastian)
Defenisi gharar menurut mahzab Imam
Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah[1] : Al-ghararu manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada
baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah apa-apa
yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah
yang paling kita takuti”
Wahbah al-Zuhaili [2] memberi
pengertian tentang gharar sebagai
al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan
(harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan
kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia
itu adalah kesenangan yang menipu.
Dengan demikian menurut bahasa, arti
gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan
tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak
mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili [3]
mengutip beberapa pengertian gharar yang dikemukakan oleh para fuqaha yang
maknanya hampir sama:
1. Al-Syarkasi dari mazhab Hanafi
berpendapat, al-gharar ma yakun masnur al-aqibah ,artinya: “sesuatu yang
tersembunyi akibatnya”.
2.
Al-Qarafi dari Mazhab Maliki berpendapat: ashlu al-gharar huwa al- ladzi
la
yudra hal tahshul am laka al-thair fil al hawa` wa al-samak fi al- ma`.artinya: “sesuatu yang
tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di udara,
dan ikan di air”.
3.
Al-Syirazi dari mazhab Syafi`i berpendapat, al-gharar ma intawa
`anhamruh wa khafiy alaih `aqibatuh,
artinya : “sesuatu yang urusannya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya”
4.
Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah tidak diketahui akibatnya.
5. Ibn Qoyyim berpendapat gharar ialah
yang tidak bisa diukur penerimaanya, baik barang itu ada maupun tidak ada,
seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada.
6. Ibn Hazm berpendapat, gharar itu
ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tahu apa yang ia
jual.
Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak
(misalnya: peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan) saling tidak
mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu
depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat
berasaskan andaian (ihtimal) semata.[4]
Inilah yang disebut gharar (ketidak
jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat
menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi.
Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya
jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah[5]:
1.
Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2.
Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul
(tidak diketahui ketika beli).
3.
Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
4.
Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Menurut Islam, gharar ini merusak
akad[6]. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam
an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai
perananan yang begitu hebat dalam
menjamin keadilan. Contoh jual beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak
lembu yang masih di dalam perut ibunya. Menjual burung yang terbang di
udara.[7] Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan. Sempurnakah janin
yang akan dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu. Maka jika harga dibayar,
tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati, hingga
terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar untuk menghindari
kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi gharar yang sedikit yang
tidak dapat dielakkan.
Jika kedua belah pihak saling meridhai,
kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang
diharamkkan. Walaupun nisbah/prosentasi atau kadar bayaran telah ditentukan
agar peserta asuransi/ pemegang polis maklum, ia tetap juga tidak tahu,
kapankah musibah akan terjadi?. Disinilah gharar terjadi. [8]
Dr.M. Anwar Ibrahim [9] mengatakan bahwa
para ahli fiqih hampir dikatakan sepakat mengenai definisi gharar, yaitu
untung-untungan yang sama kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang mungkin terwujud dan mungkin tidak terwujud,
seperti jual beli burung yang masih terbang bebas di udara.
Rasulullah SAW bersabda tentang gharar
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut :
An abii hurairata qaala nahaa Rasulullah
shalallahu `alahi wassallam `an bai`il hashah wa `an bai`il gharar,
“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah
SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (HR Bukhari, Muslim, Malik,
Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Selanjutnya pada bagian manakah gharar
(ketidakpastian) terjadi pada asuransi konvensional yang kita kenal selama
ini. H.M. Syafi`i Antonio [10]pakar
ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi
konvensional ada dua bentuk:
1. Bentuk akad syariah yang melandasi
penutupan polis
2. Sumber dana pembayaran klaim dan
keabsahan syar`i penerimaan
uang klaim itu sendiri.
Secara konvensional kata Syafi`i
kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai aqd tabaduli
atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang
pertanggungan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang
dibayarkan dan berapa yang diterima.
Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima
(sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan
(jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan
meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.
Sumber: Dikutip dari buku, Muhammad Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life
and General) – Konsep dan Sistem Operasional”, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal
46-48.
[1] Syarikat Takaful Malaysia, Op.,
Cit., hal 19
[2] Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami
wa `Adillatuhu. Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus. Syria, hal 435-437
[3] Wahbah Al-Zuhaili. Ibid, hal 437
[4] Ahmadi Sukarno, Op., Cit., hal 26
[5] Al Imam an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh
al-Muhazzab, Dar Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal 210
[6] Baltaji, `Uqud at-Ta`min, hal 68.
Saya kutip dari Ahmadi Sukarno, Op., Cit., hal 26
[7] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim,
L:ihat Bab Buyu` dalam semua cetakan
[8] Baltaji, Op., Cit., dalam Ahmadi
Sukarno, Op., Cit., hal 27
[9] M. Anwar Ibrahim, Dr. Tinjauan Fiqh
terhadap Asuransi (makalah disampaikan dalam lokakarya Asuransi Syari`ah
tanggal 4 – 5 Juli 2001.
[10] Muhammad Syafi`i Antonio, Msc.
Asuransi Dalam Perspektif Islam. 1994. STI. Jakarta, hal 1-3
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !