Headlines News :
Home » » Gharar Dalam Asuransi Syariah

Gharar Dalam Asuransi Syariah

Written By Unknown on Jumat, 25 Januari 2013 | 03.33



Gharar (Ketidakpastian) Dalam Asuransi Syariah

Gharar (Ketidakpastian)
Defenisi gharar menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah[1] : Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”

Wahbah al-Zuhaili [2] memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu.

Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.

Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili [3] mengutip beberapa pengertian gharar yang dikemukakan oleh para fuqaha yang maknanya hampir sama:
1. Al-Syarkasi dari mazhab Hanafi berpendapat, al-gharar ma yakun masnur al-aqibah ,artinya: “sesuatu yang tersembunyi akibatnya”.
2.  Al-Qarafi dari Mazhab Maliki berpendapat: ashlu al-gharar huwa al- ladzi
la  yudra hal tahshul am laka al-thair fil al hawa` wa  al-samak fi al-                  ma`.artinya: “sesuatu yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di udara, dan ikan di air”.
3.  Al-Syirazi dari mazhab Syafi`i berpendapat, al-gharar ma intawa `anhamruh wa     khafiy alaih `aqibatuh, artinya : “sesuatu yang urusannya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya”
4.  Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah tidak diketahui akibatnya.
5. Ibn Qoyyim berpendapat gharar ialah yang tidak bisa diukur penerimaanya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada.
6. Ibn Hazm berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tahu apa yang ia jual.

Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak (misalnya: peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata.[4]

Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah[5]:
1.  Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2.  Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
3.   Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
4.   Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

Menurut Islam, gharar ini merusak akad[6]. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan. Contoh jual beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih di dalam perut ibunya. Menjual burung yang terbang di udara.[7] Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan. Sempurnakah janin yang akan dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu. Maka jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati, hingga terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.

Jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan. Walaupun nisbah/prosentasi atau kadar bayaran telah ditentukan agar peserta asuransi/ pemegang polis maklum, ia tetap juga tidak tahu, kapankah musibah akan terjadi?. Disinilah gharar terjadi. [8]

Dr.M. Anwar Ibrahim [9] mengatakan bahwa para ahli fiqih hampir dikatakan sepakat mengenai definisi gharar, yaitu untung-untungan yang sama kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang  mungkin terwujud dan mungkin tidak terwujud, seperti jual beli burung yang masih terbang bebas di udara.

Rasulullah SAW bersabda tentang gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah  sebagai berikut :
An abii hurairata qaala nahaa Rasulullah shalallahu `alahi wassallam `an bai`il hashah wa `an bai`il gharar,
“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (HR Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Selanjutnya pada bagian manakah gharar (ketidakpastian) terjadi pada asuransi konvensional yang kita kenal selama ini.   H.M. Syafi`i Antonio [10]pakar ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi konvensional ada dua bentuk:
1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis
2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar`i penerimaan
uang klaim itu sendiri.

Secara konvensional kata Syafi`i kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai aqd tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan  dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.

Sumber: Dikutip dari buku,  Muhammad Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life and General) – Konsep dan Sistem Operasional”, Penerbit  Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal 46-48.

[1] Syarikat Takaful Malaysia, Op., Cit., hal 19
[2] Wahbah Al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa `Adillatuhu. Juv IV. Dar al-Fikr. Damascus. Syria, hal 435-437
[3] Wahbah Al-Zuhaili. Ibid, hal 437
[4] Ahmadi Sukarno, Op., Cit., hal 26
[5] Al Imam an-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Dar Ilya` at-Turath al-Arabi, jld 9 hal 210
[6] Baltaji, `Uqud at-Ta`min, hal 68. Saya kutip dari Ahmadi Sukarno, Op., Cit., hal 26
[7] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, L:ihat Bab Buyu` dalam semua cetakan
[8] Baltaji, Op., Cit., dalam Ahmadi Sukarno, Op., Cit., hal 27
[9] M. Anwar Ibrahim, Dr. Tinjauan Fiqh terhadap Asuransi (makalah disampaikan dalam lokakarya Asuransi Syari`ah
tanggal 4 – 5 Juli 2001.
[10] Muhammad Syafi`i Antonio, Msc. Asuransi Dalam Perspektif Islam. 1994. STI. Jakarta, hal 1-3
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. CATATANKU - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template