Maisir (Judi) Dalam
Asuransi Syariah
(sumber:
www.syakirsula.com)
Maisir
(judi/untung-untungan)
Kata Maisir dalam
bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah
tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga
disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam`
yang berarti praktek perjudian.
Judi dalam terminologi
agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk
kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan
pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau
kejadian tertentu”[1]
Prinsip berjudi adalah
terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja
atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya
mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau
menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar
masuk dalam kategori definisi berjudi[2]
Judi pada umumnya
(maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan,
undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram di
dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan
uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan
(misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.[3]
Diriwayat oleh Abdullah
bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang disebut
habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam
jual beli ini seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta
tersebut belum lahir tetapi akan segera lahir sesuai jenis kelamin yang
diharapkan “.[4]
“Diriwayatkan oleh
beberapaa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin
Al Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang transaksi
muzabanah dan muhaqalah”[5]
Kedua jenis bisnis
transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam. Muzabanah adalah
tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara bahwa
jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang
segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama halnya
dengan muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih ada
dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.
Disebabkan karena
kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka
dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat
berikut:
“Mereka akan bertanya
kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya terdapat
dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya…” (QS. Al Baqarah 2:219)
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (QS al-Maaidah 5:90)
Ayat di atas secara
tegas menunjukkan keharaman judi. Slain judi itu rijs yang berarti busuk,
kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada
semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social,
moral, sampai budaya. Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan
perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka[6]
Perhatikan Firman Allah
SWT selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh judi:
“Sesungguhnya setan itu
bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat, maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Maidah, 5:91)
Karena itu merupakan
perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk menguburkan
makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia,
adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baikdan
menarik, atau dengan nama-nama yang
indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya seakan-akan halal.
Allah SWT berfirman:
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu manusia” (QS. Al-An`am: 112)
Juga perhatikan
firman-Nya:
“Dan setan pun
menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan”
(QS. Al-An`am: 43)
Rasulullah SAW juga
mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, “Surga itu dikelilingi
oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh
sesuatu yang menyenangkan”. (HR. Bukhari – Muslim)
Dalam industri
asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan karena adanya gharar sistem
dan mekanisme pembayaran klaim. Jadi judi atau gambling terjadi illat-nya
karena disana ada gharar. Prof. Mustafa Ahmad Zarqa[7] mengatakan bahwa adanya
unsur gharar menimbulkan al-qumaar. Sedangkan al-qumaar sama dengan al-maisir,
gambling dan perjudian. Artinya ada salah satu pihak yang untung tetapi ada
pula pihak lain yang dirugikan.
Akad judi menurut Dr.
Husain Hamid Hisan [8], merupakan akad gharar, karena masing-masing pihak yang
berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau
jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu
peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang
diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan. Selanjutnya,
Syaikh Hisan mengatakan tidak ada seorang pun dari para mujtahid yang
mengatakan bahwa tasharrufaat (pembelanjaan-pembelanjaan) yang mengandung unsur
“hura-hura, menghibur diri, dan menyia-nyiakan waktu” serta didalamnya tidak
ada unsur riba dan grarar merupakan perjudian dan taruhan.Illat (sebab)
keharaman judi bukan itu semua, tetapi illatnya adalah gharar, karena di dalam
judi dan taruhan ada istilah “kemungkinan menang bagi satu pihak dan
kemungkinan kalah bagi pihak lain”.
Mohd Fadzli Yusof[9],
menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi karena didalamnya
terdapat faktor gharar, beliau mengatakan: “adanya unsur al-maisir (perjudian)
akibat adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila
pemegang asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi,
namun telah membayar sebagian preminya, maka tertanggungnya akan menerima
sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya
tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai
al-maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.
Dengan argumentasi yang
hampir sama, Syafi`i Antonio [10] mengatakan bahwa unsur maisir artinya adanya
salah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami kerugian. Hal
ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga (untuk produk
tertentu) maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
Pada kesempatan lain
Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maisir dalam asuransi konvensional sebagai
berikut: Maisir adalah suatu bentuk kesepahaman antara beberapa pihak, namun
ending yang dihasilkan hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan.
Sedangkan maisir (gambling/untung-untungan) dalam asuransi konvensional terjadi
dalam tiga hal:
a. Ketika seorang
pemegang polis mendadak kena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal
baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini
terjadi, nasabah diuntungkan
b. Sebaliknya jika
hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar
premi secara penua/lunas. Maka perusahaanlah yang diuntungkan.
c. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab
tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reserving period, maka yang
bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan (cash
value) kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.[11]
Salah satu pakar
asuransi dan sekaligus praktisi asuransi yang cukup ternama di Indonesia, Muhaimin Iqbal, ACII[12] mengatakan: Unsur
maisir (perjudian) sebenarnya juga tidak disetujui dalam teori dasar asuransi
konvensional. Dalam ilmu asuransi (konvensional) asuransi dianggap berbeda
dengan judi karena kontrak asuransi harus berdasarkan adanya kepentingan
keuangan (insurable interest) dan atas kepentingan keuangan tersebut hanya
dijamin terhadap resiko murni (pure risk), artinya dengan ganti rugio asuransi
nasabah nasabah hanya akan dipulihkan ke kondisi financial sesaat sebelum
kejadian suatu resiko (principle indemnity), nasabah tidak boleh mendapatkan
keuntungan dari terjadinya suatu resiko. Di sisi lain judi tidak mengharuskan
adanya insurable interest dan resiko yang diperjudikan bersifat speculative
atau salah satu pihak akan untung dan lain pihak rugi. Dari perbedaan inilah
maka teori dasar asuransi menganggap bahwa asuransi bukanlah judi[13]
Tapi kenyataannya
lanjut Iqbal, memang di praktek sangat berbeda dengan teori. Untuk aspek maisir
(perjudian) misalnya, sangat sedikit pelaku asuransi yang menerapkan teorinya
dengan serius dan menghindarkan bisnisnya dari sifat yang menyerupai perjudian
atau untung-untungan. Untuk menghindarkan diri dari unsur maisir (perjudian)
tersebut, para pelaku asuransi tidak cukup hanya mengandalkan sisi klien harus
memiliki insurable interest, dan kalau terjadi kerugian hanya diganti rugi ke
kondisi sesaat sebelum kejadian (indemnity), tetapi disisi pengelolaan usaha
khususnya dalam memilih portofolio resiko dan menentukan nilai premi juga harus
sepadan (equitable) terhadap resiko yang dijamin. Oleh karena itulah maka di
Indonesia bahkan ada peraturan yang mengharuskan suku premi asuransi dihitung
berdasarkan statistic profil resiko sekurang-kurangnya 5 tahun[14].
Yang terjadi di
lapangan adalah dari puluhan jenis produk asuransi (khususnya asuransi umum),
hanya satu produk asuransi yaitu asuransi kebakaran yang statistiknya cukup
untuk menghitung suku premi yang equitable. Selebihnya suku premi lebih banyak
ditentukan oleh pengalaman dan kekuatan pasar sehingga sulit untuk meyakinkan
bahwa suku premi yang dibayar oleh nasabah atau sekumpulan nasabah akan cukup
untuk membayar ganti rugi nasabah yang kurang beruntung. Bahkan statistic yang
memadai di asuransi kebakaran pun sering
diabaikan oleh pelaku pasar. Sikap pelaku asuransi yang tidak menghiraukan
teori dasarnya sendiri inilah yang membawa praktek asuransi sangat dekat atau
bahkan bercampur dengan unsur maisir (perjudian)[15].
Sumber: Dikutip dari
buku, Muhammad Syakir Sula, “Asuransi
Syariah (Life and General) – Konsep dan Sistem Operasional”, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal
48-53.
[1] Rafiq al-Mishri,
Al-Maisir Wal Qimar, hal 27-32
[2] Afzalur Rahman,
Economic Doctrines of Islam, Vol 3, Islamic Publications, Lahore, 1974, hal 112
[3] Afzalur Rahman,
Ibid, hal 113
[4] Hadits Bukhari
Muslim
[5] Hadits Riwayat
Bukhari, Ibn Majah Tirmidzi, Lihat misalnya Bukhari Jilid III, 215
[6] Ahamad Kursairi
Suhail, Bahaya Judi, Dalam Kolom Hikmah, Republika tanggal 30 Januari 2004
[7] Mustafa Ahmad
Zarqa, prof dalam A. Latif Mukhtar, Ibid, hal 131
[8] Husain Hamid Hisan,
Dr. Hukmu Asy-Syari`ah Al-Islamiyah Fii Uquudi Atta`min. darul I`tisham. Kairo,
hal 117-128
[9] Mohd Fadzli Yusof. Takaful Sistem Insurans Islam.
Tinggi Press. SDN BHD, hal 32
[10] Syafi`i Antonio.
Op., Cit., hal 2-3
[11] Syafi`i Antonio,
Bisnis Cara Rosul, Republika (setiap senin)
[12] Direktur Tehnik
Asuransi Tugu Pratama, General Insurance terbesar di Indonesia, Anggota Dewan
Penasehat Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI).
[13] Muhaimin Iqbal,
Asuransi Setelah Fatwa Bunga Bank Riba Oleh MUI (makalah diskusi Intern AASI,
2003)
[14] Ibid
[15] Ibid
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !