Hukum Ekonomi Islam
1.
Hakikat Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai
kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok
fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Tetapi,
hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum
ilmu-ilmu pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan
berikut: Pertama, ilmu ekonomi adalah
ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus
mengendalikan banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak
jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi
tertentu.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman
dalam karyanya Principles of Economics,
“pada hakikatnya bersifat hipotetik”. Semua hukum ekonomi memuat isi anak
kalimat bersyarat sebagai berikut “hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)”, yakni anggapan bahwa
dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan
tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang
bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan
eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Ilmu ekonomi, tidak seperti
cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari
motif-motif manusia dalam bentuk uang.
2.
Sumber Hukum Ekonomi Islam
Ada berbagai
metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis
besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih
menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam
disiplin ilmu ushl fiqh. Metode pengambilan hukum atas suatu
permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam metode, namun dalam buku ini hanya
akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh
ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.
a.
Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli
adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang
disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat
manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian
Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
(baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi,
terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non
Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka
bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah
SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril.
Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi
mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk
menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari
jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual
semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum
tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam
dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga dalam setiap penarikan dan
pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam
Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik
kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu
dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu
Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap
muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang
sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh
seluruh umat manusia.
b.
Hadits dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang
secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada
perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar
didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah
mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu
sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, pada
pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui,
dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai
sahabat-sahabatnya. Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan
sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.
Hadits dan sunnah ini hadir sebagai
tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim
dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan
keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta
penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak
terdapat di Al-Qur’an. Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat
dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai
tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits
mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad
c.
Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga
merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama.
Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa
sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada
sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma
adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas
setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh
dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki
kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta
sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di
bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah
disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang
seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil
pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali
salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran
yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d.
Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan
setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan
syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin
benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada
proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis
dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y
(pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum
telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas.
Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli
teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual,
tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat
kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan
alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat
dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum,
perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang
baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !