Akad Dalam Asuransi
Syariah
Sumber:
(www.syakirsula.com)
Aqad (akad)
Lafal akad, berasal
dari lafal Arab al- ‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan
al-ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:
“Pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan.[1]
Pencantuman kalimat
yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak
sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi
riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan
pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada
pihak yang lain (yang menyatakan qabul).[2]
Dalam teori hukum
kontrak secara syariah (nazarriyati
al-`uqud), setiap terjadi transaksi, maka akan terjadi salah satu dari tiga hal
berikut, pertama kontraknya sah, kedua kontraknya fasad dan ketiga aqadnya
batal. Untuk melihat kontrak itu jatuhnya kemana, maka perlu diperhatikan
instrumen mana dari aqad yang dipakai dan bagaimana aplikasikasinya.[3]
Az-Zarqa menyatakan
bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk
mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu
sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak
masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak
yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang
dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti
untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah
ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini, lanjut
Az-Zarqa’, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak
yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan
setiap pernyataan kedua yang diungkapkan pihak lain setelah ijab disebut qabil
(pelaku qabul); tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan
pertama itu. Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan untuk melakukan
jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut dengan mujib sedangkan
pembeli disebut dengan qabil. Pernyataan ijab tidak selalu datangnya dari
pembeli, melainkan boleh juga dari penjual. Apabila ijab dan qabul telah
memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara’, maka terjadilah
perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul dan muncullah segala
akibat hukum dari akad yang disepakati itu. Dalam kasus jual beli, misalnya,
akibatnya adalah berpindahnya pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan
penjual berhak menerima harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan utang),
misalnya, pihak penerima jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan
(al-marhun) sebagai jaminan utang dan pihaknya yang menjamin barang (al-rahin)
berkewajiban melunasi utangnya. Ijab dan qabul ini, dalam istilah fiqh disebut
juga dengan shighat al-‘aqd (ungkapan/pernyataan akad)[4]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal Majmu` Fatawa [5]mengatakan: “Akad dalam
Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan.
Sebab pada asalnya harta seseorang muslim lain itu tidak halal, kecuali jika
dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan). Akan tetapi hatinya
tidak akan suka, kecuali apabila ia berikan miliknya itu dengan kerelaan bukan
terpaksa, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu
diantaranya ada yang jelas dapat diketahui oleh setiap orang dengan akalnya,
seperti halnya pembeli wajib menyerahkan harga dan penjual menyerahkan barang
jualannya kepada pembeli secara jelas, dan dilarang berbuat curang dalam
menakar dan menimbang, wajib jujur dan berterus terang, haram berbuat bohong
dan berkhianat, dan bahwa hutang itu mesti dibalas dengan melunasinya dan
mengucapkan pujian.
Untuk maksud itu maka
[6] akad-akad dalam mu`amalah sangat luas
sampai mencakup segala apa saja yang dapat merealisir
kemaslahatan-kemaslahatan. Sebab mu`amalah pada dasarnya adalah boleh dan tidak
terlarang, dan kaidah-kaidahnya memberi kemungkinan mengadakan macam-macam akad
baru yang dapat merealisir pola-pola mu`amalah baru pula. Hal inilah yang
merupakan kemudahan, keluasan dan keuniversalan ajaran Islam.
Namun demikian
kejelasan akad dalam praktek muamalah penting dan menjadi prinsip karena akan
menentukan sah tidaknya mu`amalat tersebut secara syar`i [7]. Apakah akad yang
dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad as-Salam (meminjamkan barang),
akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah (pengelolaan tanah dan bagi
hasil),akad Ijarah (sewa), Mudharabah, Wakalah dan seterusnya [8]
Demikian pula halnya
dalam asuransi, akad antara perusahaan dan peserta harus jelas. Apakah akadnya
jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli) atau akad
lainnya seperti yang disebutkan diatas. Dalam asuransi biasa (konvensional)
terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional
akad yang melandasinya semacam akad jual beli (aqd tabaduli). Karena akadnya
adalah akad jual beli, maka syarat-syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi
dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariah.
Syarat-syarat dalam
transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang
diperjualbelikan, harga dan akadnya [9]. Pada asuransi
konvensional, penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan atau yang akan
diperoleh serta ijab kabul (akad) jelas, akan tetapi yang menjadi masalah
adalah harganya (berapa besar premi yang akan dibayar) kepada perusahaan
asuransi. Padahal hanya Allah
yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh
sesuai dengan yang diperjanjikan ini jelas, akan tetapi jumlah yang akan
dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu
kapan kita meninggal [10]. Firman Allah SWT:
Maa-ashoba minmushibah illa bi-idznillah “Tidak ada sesuatu musibah pun
yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah”[11]
Terdapat perbedaan
pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama fiqh
menyatakan rukun akad terdiri atas[12]:
1. Pernyataan untuk mengikatkan diri
(shighat al-‘aqd)
2. Pihak-pihak yang berakad
(al-muta’aqidain
3. Obyek akad (al-ma’qud ‘alaih)
Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al-‘aqd (ijab dan
qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad, menurut mereka,
tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-syarat akad, karena menurut
mereka, yang dikatakan rukun itu adalah
suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang
berakad dan obyek akad berada diluar esensi akad.
Shighat al-‘aqd
merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan inilah diketahui
maksud setiap pihak yang melakukan akad. shighat al-‘aqd ini diwujudkan melalui
ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para lama fiqh
mensyaratkan[13]:
a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan
itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad, yang dikehendaki, karena
akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
b. Antara ijab dan qabul itu terdapat kesesuaian
c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu
kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.
Ijab dan qabul ini bisa
berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat. Dalam akad jual beli,
misalnya, pernyataan ijab diungkapkan dengan perkataan “saya jual buku ini
dengan harga Rp. 10.000”, dan pihak lainnya menyatakan qabul dengan perkataan
“saya beli buku ini dengan harga Rp. 10.000”. pernyataan ijab dan qabul melalui
tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga syarat yang dikemukakan di
atas. Dalam pernyataan kehendak untuk melakukan suatu akad melalui tulisan ini,
para ulama membuat suatu kaidah fiqh yang menyatakan bahwa:
“Tulisan itu sama
dengan ungkapan lisan”
Artinya, pernyataan
yang jelas yang dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya sama dengan
ungkapan langsung melalui lisan
Dalam buku Panduan
Syarikat Takaful Malaysia [14], dijelaskan tentang rukun-rukun akad: (1) Aqid,
yaitu pihak-pihak yang mengadakan Aqd (misalnya Takaful dan peserta ), (2) Ma`kud `alaihi yaitu sesuatu yang diakadkan
atasnya (barang dan bayaran), dan (3) Sighah (ijab dan kabul). Ma`kud `alaihi
dalam asuransi konvensional oleh ulama dianggap masih gharar, karena akad yang
melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta benda)
atau aqd tabaduli (akad jual beli).
Sementara itu pada
asuransi syariah, akad yang melandasinya
bukan akad jual beli (aqd tabaduli), atau akad mu`awadhah sebagaimana
halnya pada asuransi konvensional,
tetapi akad tolong menolong (Aqd takafuli), dengan menciptakan instrumen
baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru` (hibah).
Majelis Ulama
Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa khusus tentang:
Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut[15]:
Pertama: Ketentuan Umum
A. Asuransi Syariah
(Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan tolong menolong
diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau
tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
B. Akad yang sesuai
dengan syariah yang dimaksud pada poin
(1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba
(bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
C. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang
dilakukan untuk tujuan komersil.
D. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan
komersil.
E. Premi adalah kewajiban peserta untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
F. Klaim adalah hak
peserta asuransi yang wajib dibeh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepaka tan
dalam akad
Kedua: Akad Dalam Asuransi
A. Akad yang dilakukan antara peserta dengan
perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan atau akad tabarru`.
B. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1)
adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru` adalah hibah.
C. Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
- Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
- Cara dan waktu pembayaran premi
- Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru`
serta syarat-syarat yang disepakati
sesuai dengan jenis asuransi yang
diakad.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak Dalam Akad
Tijarah dan Tabarru`
A. Dalam akad tijarah
(mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta
bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis).
B. Dalam akad tabarru`
(hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena
musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah
Keempat: Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
A. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis
akad tabarru` bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya
sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya
B. Jenis akad tabarru`
tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah
Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya
A. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu
terdiri atas asuransi ketugian dan asuransi jiwa.
B. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi
tersebut adalah mudharabah
dan hibah
Keenam: Premi
A. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad
tijarah dan jenis akad tabarru`
B. Untuk menentukan
besarnya premi perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita
untuk asuransi jiwa dan table morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat
tidak memasukan unsur riba dalam perhitungannya.
Fatwa tersebut diatas,
sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia
terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait
dengannya.
Pada suatu kesempatan, Bapak Syakir Sula berdiskusi dengan Doktor Jafril Khalil[16] dalam kaitan Fatwa DSN-MUI diatas,
beliau pakar asuransi syariah yang kebetulan disertasi doktornya tentang
akad-akad asuransi. Kami berkesimpulan bahwa akad-akad dalam asuransi syariah
tidak hanya sebatas pada akad Tabarru` dan mudharabah saja, akan tetapi
beberapa akad-akad tijarah lainya yang ada dalam fiqh Islam, seperti misalnya
al-musyarakah, al-wakalah, al-wadiah, asy-Syirkah, al-Musamahah, dan sebagainya
dibenarkan oleh syara` untuk digunakan dalam asuransi syariah. Tinggal yang
menjadi kajian managemen apakah marketable atau tidak.
M.M. Billah, dalam
kaitan dengan akad-akad dalam asuransi syariah, lebih cenderung tidak
menggunakan istilah tabarru`, tapi menggunakan
istilah al-musahamah (contribution/kontribusi)[17]. Hal ini mungkin
sebagai solusi dari perdebatan bahwa dalam akad tabarru` tidak boleh ada
pengembalian lagi (mudharabah). Karena
premi (tabarru`) sudah diikhlaskan dan hanya mengharapkan ridha Allah swt.
Sementara dalam prakteknya pada asuransi syariah saat ini.[18], terutama pada
term insurance (life) dan pada seluruh produk general insurance terdapat yang
disebut mudharabah, yang diberikan kepada nasabah apabila tidak terjadi klaim.
Disini terjadi kerancuan karena disatu sisi dikatakan bahwa pada akad tabarru`
tidak mengharapkan pengembalian kecuali pahala dari Allah, tapi dalam
prakteknya nasabah mendapat pengembalian berupa mudharabah (bagi hasil) jika
tidak terjadi klaim.[19]
Berdasarkan hukum Islam
untuk membuat polis takaful (asuransi syariah) harus ada subyek pokok yang
beresiko, yang mana atas subyek pokok tersebut, dua pihak (pengelola dan
peserta) harus menyetujui proposal (ijab) dan persetujuan (qabul) yang mana
kedua pihak setuju untuk berbagi tanggung jawab dalam menyediakan jaminan
materi yang memadai terhadap resiko yang nyata tapi tidak terduga atas subyek
pokok. Dengan kata lain ketentuan dalam polis takaful (asuransi syariah) adalah
proposal (ijab), penerimaan (qabul), penerbitan cover note (dokumen sementara
untuk polis yang disediakan pengelola bagi peserta) dan pembayaran takaful
kontribusi (al-musahamah).[20]
Al Zuhaili juga dalam
kitabnya menjelaskan tentang Syarikat al-Musahamah. Syarikat Al Musahamah kata
syaikh al-Zuhaili adalah merupakan salah satu jenis syarikat harta (syarikah al
amwal) yang penting. Modal syarikat ini adalah terdiri dari modal-modal kecil
yang jumlahnya banyak, dan dimana setiap bagian tersebut disebut saham, yang
tidak boleh diperkecil lagi kecuali ditukarkan. Tanggung jawab pemegang saham
hanya sebesar saham yang dimilikinya. Pengelola dan karyawannya digaji sebagai pegawai, tidak terkecuali
apakah dia sekaligus juga adalah salah satu pemegang saham.[21]
Agus Haryadi[22]
memberi ilustrasi tentang konsep al-musahamah seperti ketika kita ingin main
bola, kemudian masing-masing iuran atau kontribusi sesuai kemampuan yang
dimiliki untuk keperluan bersama yaitu beli bola. Kemudian bola terbelih dan
dipakailah bersama. Setelah permainan selesai kemudian bola tadi diberikan
kepada seorang diantaranya untuk dibawa pulang. Demikian seterusnya kadang bola
tersebut dipakai lagi bersama dan tidak jarang hanya dipakai salah satu atau
beberapa saja diantara mereka.
Konsep akad
al-musamahah seperti ini lebih mirip dengan konsep asuransi yang sementara ini
banyak dipakai oleh asuransi syariah yang ada di beberapa negara termasuk di
Indonesia.
Dengan melandaskan diri
pada prinsip takafuli, asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa)
menerapkan dua bentuk akad diawal penerimaan premi, yakni akad tabungan
investasi dan akad kontribusi. Akad tabungan investasi berdasarkan prinsip
al-mudharabah sementara kontribusi berdasarkan prinsip hibah. Hibah ini
dilakukan secara berjamaah dan mengandung efek saling menanggung. Besarnya
hibah sekitar 5% dari total premi, selebihnya (95%) akan masuk ke dalam
tabungan investasi nasabah. Perusahaan asuransi syariah akan menempatkan dana
tabungan dan kontribusi tadi pada proyek-proyek investasi yang halal dan
menguntungkan.[23]
Sumber: Dikutip dari
buku, Muhammad Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life and General) – Konsep dan
Sistem Operasional”, Penerbit Gema
Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal 38-46.
[1] Ibn `Abidin, Radd
al Muhtar `ala ad-Dur al-Mukhtar, Amiriyah, Mesir, tt, jilid II, hal 255
[2] Nasrun Harun, Op.,
Cit., hal 97
[3] Jafril Khalil,
Aqad-Aqad Produk Keuangan Islam, Materi Training Certified Islamic Insurance
Spesialist – CIIS, LPKG- Lembaga Diklat Depkeu, 2003, hal 1
[4] Mustafa Ahmad
az-Zarqa, al Madkhal al-Fiqh al `Am al Islami fi Tsaubihi al-Jadid, Dar
al-Fikr, Beirut, Jilid I, hal 329
[5] Ibnu Taimiyyah,
majmu` Fatawa. Maktabah Ibn Taimiyyah.
Mekkah. 1960 (28 : 384)
[6] Dr Ahmad Muhammad
Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. An-Nizamul Iqtishadi fil Islam Mabaadi-uhu
Wahdafuhu. Malik `Abdul
`Aziz University. 1976, hal 205
[7] Muhammad Syakir
Sula. Op.,Cit., hal 12
[8] Lihat Dr Ahmad
Muhammad. Op., Cit., hal 205-215 (Bab macam-macam akad)
[9] Said Sabiq. Fiqhus
Sunnah. Jilid 12, hal 15. Lihat juga Shahih Muslim (Bab Muamalat), Fathul Bari
Jilid 5 : 275
hal 335-341
[10] Muhammad Syakir
Sula. Ibid, hal 13
[11] QS. at-Taqhabun
64:11
[12] Ad-Dardir,
Asy-Syarh ak Kabir `Ala Hasyiyyah ad-Dasuqi, Dar Fikr, Beirut, tt, Jilid 3, hal
2. Saya kutib dari Nasrun Haroen, Op., Cit., hal 99
[13] Ibid, hal 100
[14] SyarikatTakaful
Malaysia. Panduan Syarikat Takaful Malaysia. 1984, hal 18
[15] Fatwa Dewan
Syariah Nasional No:21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[16] Pada Tgl 23 Mei
2003, di Kantor Takaful, kami berdua diskusi panjang lebar seputas akad-akad
dalam asuransi syariah, beliau sebagai pakar syariah dan saya sebagai praktisi.
Kami menemukan beberapa formula menarik yang lebih pas ditinjau dari segi
syara` dan lebih marketable dari sisi praktisi. Lihat juga tulisan Jafril
Khalil, Akad-akad Produk Keuangan Islam, bahan Training Certified Islamic Insurance
Specialist,Depkeu.
[17] M.M Billah,
Principles of Contracts Affecting Takaful And Insurance: A Comperative
Analysis, The Malaysian Insurance Institut, Kuala Lumpur, hal 14
[18] Konsep seperti ini
terdapat ada asuransi Takaful Malaysia, Takaful Indonesia, Takaful Brunai,
Takaful Singapura, dan pada Asuransi Takaful lainnya diberbagai negara,
termasuk asuransi syariah di Indonesia.
[19] Argumentasi ulama
yang berpendapat seperti ini, bahwa pada akad mudharabah pada saat bersamaan
juga terdapat akad tabarru` dan hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan
secara syar`i.
[20] M.M. Billah, Op.,
Cit., hal 13-14
[21] Wahbah al-Zuhaili,
al Fiqh al Islam wa Adillatuhu al Juz` al Rabi`, Darul Fikr, Damaskus, 1984, hal 885
[22] Agus Haryadi (CEO
Asuransi Takaful Keluarga) dalam suatu kesempatan diskusi dengan penulis
seputar konsep tabarru` dan konsep musamahah pada bulan Juli 2003
[23] Muhammad Syafi`i
Antonio, Spekulasi Dalam Asuransi Syariah, Republika 7 Oktober 2002
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !