Headlines News :
Home » » Akad Dalam Asuransi Syariah

Akad Dalam Asuransi Syariah

Written By Unknown on Jumat, 25 Januari 2013 | 03.57



Akad Dalam Asuransi Syariah
Sumber: (www.syakirsula.com)

Aqad (akad)
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al- ‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan.[1]

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).[2]

Dalam teori hukum kontrak  secara syariah (nazarriyati al-`uqud), setiap terjadi transaksi, maka akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut, pertama kontraknya sah, kedua kontraknya fasad dan ketiga aqadnya batal. Untuk melihat kontrak itu jatuhnya kemana, maka perlu diperhatikan instrumen mana dari aqad yang dipakai dan bagaimana aplikasikasinya.[3]

Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini, lanjut Az-Zarqa’, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan pihak lain setelah ijab disebut qabil (pelaku qabul); tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu. Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan untuk melakukan jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut dengan mujib sedangkan pembeli disebut dengan qabil. Pernyataan ijab tidak selalu datangnya dari pembeli, melainkan boleh juga dari penjual. Apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara’, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul dan muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu. Dalam kasus jual beli, misalnya, akibatnya adalah berpindahnya pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual berhak menerima harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan utang), misalnya, pihak penerima jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan (al-marhun) sebagai jaminan utang dan pihaknya yang menjamin barang (al-rahin) berkewajiban melunasi utangnya. Ijab dan qabul ini, dalam istilah fiqh disebut juga dengan shighat al-‘aqd (ungkapan/pernyataan akad)[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal  Majmu` Fatawa [5]mengatakan: “Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab pada asalnya harta seseorang muslim lain itu tidak halal, kecuali jika dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan). Akan tetapi hatinya tidak akan suka, kecuali apabila ia berikan miliknya itu dengan kerelaan bukan terpaksa, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu diantaranya ada yang jelas dapat diketahui oleh setiap orang dengan akalnya, seperti halnya pembeli wajib menyerahkan harga dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli secara jelas, dan dilarang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, wajib jujur dan berterus terang, haram berbuat bohong dan berkhianat, dan bahwa hutang itu mesti dibalas dengan melunasinya dan mengucapkan pujian.

Untuk maksud itu maka [6] akad-akad dalam mu`amalah sangat luas  sampai mencakup segala apa saja yang dapat merealisir kemaslahatan-kemaslahatan. Sebab mu`amalah pada dasarnya adalah boleh dan tidak terlarang, dan kaidah-kaidahnya memberi kemungkinan mengadakan macam-macam akad baru yang dapat merealisir pola-pola mu`amalah baru pula. Hal inilah yang merupakan kemudahan, keluasan dan keuniversalan ajaran Islam.

Namun demikian kejelasan akad dalam praktek muamalah penting dan menjadi prinsip karena akan menentukan sah tidaknya mu`amalat tersebut secara syar`i [7]. Apakah akad yang dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad as-Salam (meminjamkan barang), akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah (pengelolaan tanah dan bagi hasil),akad Ijarah (sewa), Mudharabah, Wakalah dan seterusnya [8]

Demikian pula halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan dan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli) atau akad lainnya seperti yang disebutkan diatas. Dalam asuransi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional akad yang melandasinya semacam akad jual beli (aqd tabaduli). Karena akadnya adalah akad jual beli, maka syarat-syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariah.

Syarat-syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga dan akadnya [9]. Pada asuransi konvensional, penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan atau yang akan diperoleh serta ijab kabul (akad) jelas, akan tetapi yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan dibayar) kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan yang diperjanjikan ini jelas, akan tetapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal [10]. Firman Allah SWT:  Maa-ashoba minmushibah illa bi-idznillah “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah”[11]

Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama fiqh menyatakan rukun akad terdiri atas[12]:
1.       Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-‘aqd)
2.       Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain
3.       Obyek akad (al-ma’qud ‘alaih)

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al-‘aqd (ijab dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-syarat akad, karena menurut mereka,  yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad berada diluar esensi akad.

Shighat al-‘aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. shighat al-‘aqd ini diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para lama fiqh mensyaratkan[13]:
a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad, yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
b.   Antara ijab dan qabul itu  terdapat kesesuaian
c.   Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.

Ijab dan qabul ini bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat. Dalam akad jual beli, misalnya, pernyataan ijab diungkapkan dengan perkataan “saya jual buku ini dengan harga Rp. 10.000”, dan pihak lainnya menyatakan qabul dengan perkataan “saya beli buku ini dengan harga Rp. 10.000”. pernyataan ijab dan qabul melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga syarat yang dikemukakan di atas. Dalam pernyataan kehendak untuk melakukan suatu akad melalui tulisan ini, para ulama membuat suatu kaidah fiqh yang menyatakan bahwa:
“Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan”
Artinya, pernyataan yang jelas yang dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya sama dengan ungkapan langsung melalui lisan

Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia [14], dijelaskan tentang rukun-rukun akad: (1) Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan Aqd (misalnya Takaful dan peserta  ), (2) Ma`kud `alaihi yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan bayaran), dan (3) Sighah (ijab dan kabul). Ma`kud `alaihi dalam asuransi konvensional oleh ulama dianggap masih gharar, karena akad yang melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta benda) atau aqd tabaduli (akad jual beli).

Sementara itu pada asuransi syariah, akad yang melandasinya  bukan akad jual beli (aqd tabaduli), atau akad mu`awadhah sebagaimana halnya pada asuransi konvensional,   tetapi akad tolong menolong (Aqd takafuli), dengan menciptakan instrumen baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru` (hibah).
Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa khusus tentang: Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut[15]:
Pertama:   Ketentuan Umum
A. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
B. Akad yang sesuai dengan  syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
C.  Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.
D.  Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
E.  Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
F. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib dibeh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepaka tan dalam akad

Kedua:  Akad Dalam Asuransi
A. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad        tijarah dan atau akad tabarru`.
B.  Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru` adalah hibah.
C.   Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
-   Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
-   Cara dan waktu pembayaran premi
-   Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat-syarat yang disepakati      sesuai  dengan jenis asuransi yang diakad.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
A. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis).
B. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan   untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah

Keempat:   Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
A.  Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya
B. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah

Kelima:   Jenis Asuransi dan Akadnya
A.   Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi ketugian dan asuransi jiwa.
B.   Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah
dan hibah

Keenam: Premi
A.  Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru`
B. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita untuk asuransi jiwa dan table morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukan unsur riba dalam perhitungannya.

Fatwa tersebut diatas, sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah  dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengannya.
Pada suatu kesempatan, Bapak Syakir Sula berdiskusi dengan Doktor Jafril Khalil[16] dalam kaitan Fatwa DSN-MUI diatas, beliau pakar asuransi syariah yang kebetulan disertasi doktornya tentang akad-akad asuransi. Kami berkesimpulan bahwa akad-akad dalam asuransi syariah tidak hanya sebatas pada akad Tabarru` dan mudharabah saja, akan tetapi beberapa akad-akad tijarah lainya yang ada dalam fiqh Islam, seperti misalnya al-musyarakah, al-wakalah, al-wadiah, asy-Syirkah, al-Musamahah, dan sebagainya dibenarkan oleh syara` untuk digunakan dalam asuransi syariah. Tinggal yang menjadi kajian managemen apakah marketable atau tidak.

M.M. Billah, dalam kaitan dengan akad-akad dalam asuransi syariah, lebih cenderung tidak menggunakan istilah tabarru`, tapi menggunakan  istilah al-musahamah (contribution/kontribusi)[17]. Hal ini mungkin sebagai solusi dari perdebatan bahwa dalam akad tabarru` tidak boleh ada pengembalian  lagi (mudharabah). Karena premi (tabarru`) sudah diikhlaskan dan hanya mengharapkan ridha Allah swt. Sementara dalam prakteknya pada asuransi syariah saat ini.[18], terutama pada term insurance (life) dan pada seluruh produk general insurance terdapat yang disebut mudharabah, yang diberikan kepada nasabah apabila tidak terjadi klaim. Disini terjadi kerancuan karena disatu sisi dikatakan bahwa pada akad tabarru` tidak mengharapkan pengembalian kecuali pahala dari Allah, tapi dalam prakteknya nasabah mendapat pengembalian berupa mudharabah (bagi hasil) jika tidak terjadi klaim.[19]

Berdasarkan hukum Islam untuk membuat polis takaful (asuransi syariah) harus ada subyek pokok yang beresiko, yang mana atas subyek pokok tersebut, dua pihak (pengelola dan peserta) harus menyetujui proposal (ijab) dan persetujuan (qabul) yang mana kedua pihak setuju untuk berbagi tanggung jawab dalam menyediakan jaminan materi yang memadai terhadap resiko yang nyata tapi tidak terduga atas subyek pokok. Dengan kata lain ketentuan dalam polis takaful (asuransi syariah) adalah proposal (ijab), penerimaan (qabul), penerbitan cover note (dokumen sementara untuk polis yang disediakan pengelola bagi peserta) dan pembayaran takaful kontribusi (al-musahamah).[20]

Al Zuhaili juga dalam kitabnya menjelaskan tentang Syarikat al-Musahamah. Syarikat Al Musahamah kata syaikh al-Zuhaili adalah merupakan salah satu jenis syarikat harta (syarikah al amwal) yang penting. Modal syarikat ini adalah terdiri dari modal-modal kecil yang jumlahnya banyak, dan dimana setiap bagian tersebut disebut saham, yang tidak boleh diperkecil lagi kecuali ditukarkan. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebesar saham yang dimilikinya. Pengelola dan karyawannya  digaji sebagai pegawai, tidak terkecuali apakah dia sekaligus juga adalah salah satu pemegang saham.[21]

Agus Haryadi[22] memberi ilustrasi tentang konsep al-musahamah seperti ketika kita ingin main bola, kemudian masing-masing iuran atau kontribusi sesuai kemampuan yang dimiliki untuk keperluan bersama yaitu beli bola. Kemudian bola terbelih dan dipakailah bersama. Setelah permainan selesai kemudian bola tadi diberikan kepada seorang diantaranya untuk dibawa pulang. Demikian seterusnya kadang bola tersebut dipakai lagi bersama dan tidak jarang hanya dipakai salah satu atau beberapa saja diantara mereka.
Konsep akad al-musamahah seperti ini lebih mirip dengan konsep asuransi yang sementara ini banyak dipakai oleh asuransi syariah yang ada di beberapa negara termasuk di Indonesia.

Dengan melandaskan diri pada prinsip takafuli, asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa) menerapkan dua bentuk akad diawal penerimaan premi, yakni akad tabungan investasi dan akad kontribusi. Akad tabungan investasi berdasarkan prinsip al-mudharabah sementara kontribusi berdasarkan prinsip hibah. Hibah ini dilakukan secara berjamaah dan mengandung efek saling menanggung. Besarnya hibah sekitar 5% dari total premi, selebihnya (95%) akan masuk ke dalam tabungan investasi nasabah. Perusahaan asuransi syariah akan menempatkan dana tabungan dan kontribusi tadi pada proyek-proyek investasi yang halal dan menguntungkan.[23]

Sumber: Dikutip dari buku, Muhammad Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life and General) – Konsep dan Sistem Operasional”, Penerbit  Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal 38-46.
[1] Ibn `Abidin, Radd al Muhtar `ala ad-Dur al-Mukhtar, Amiriyah, Mesir, tt, jilid II, hal 255
[2] Nasrun Harun, Op., Cit., hal 97
[3] Jafril Khalil, Aqad-Aqad Produk Keuangan Islam, Materi Training Certified Islamic Insurance Spesialist – CIIS, LPKG- Lembaga Diklat Depkeu, 2003, hal 1
[4] Mustafa Ahmad az-Zarqa, al Madkhal al-Fiqh al `Am al Islami fi Tsaubihi al-Jadid, Dar al-Fikr, Beirut, Jilid I, hal 329
[5] Ibnu Taimiyyah, majmu`  Fatawa. Maktabah Ibn Taimiyyah. Mekkah. 1960 (28 : 384)
[6] Dr Ahmad Muhammad Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. An-Nizamul Iqtishadi  fil Islam Mabaadi-uhu
Wahdafuhu. Malik `Abdul `Aziz  University. 1976, hal 205
[7] Muhammad Syakir Sula. Op.,Cit., hal 12
[8] Lihat Dr Ahmad Muhammad. Op., Cit., hal 205-215 (Bab macam-macam akad)
[9] Said Sabiq. Fiqhus Sunnah. Jilid 12, hal 15. Lihat juga Shahih Muslim (Bab Muamalat), Fathul Bari Jilid 5 : 275
hal 335-341
[10] Muhammad Syakir Sula. Ibid, hal 13
[11] QS. at-Taqhabun 64:11
[12] Ad-Dardir, Asy-Syarh ak Kabir `Ala Hasyiyyah ad-Dasuqi, Dar Fikr, Beirut, tt, Jilid 3, hal 2. Saya kutib dari Nasrun Haroen, Op., Cit., hal 99
[13] Ibid, hal 100
[14] SyarikatTakaful Malaysia. Panduan Syarikat Takaful Malaysia. 1984, hal 18
[15] Fatwa Dewan Syariah Nasional No:21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[16] Pada Tgl 23 Mei 2003, di Kantor Takaful, kami berdua diskusi panjang lebar seputas akad-akad dalam asuransi syariah, beliau sebagai pakar syariah dan saya sebagai praktisi. Kami menemukan beberapa formula menarik yang lebih pas ditinjau dari segi syara` dan lebih marketable dari sisi praktisi. Lihat juga tulisan Jafril Khalil, Akad-akad Produk Keuangan Islam, bahan Training  Certified Islamic Insurance Specialist,Depkeu.
[17] M.M Billah, Principles of Contracts Affecting Takaful And Insurance: A Comperative Analysis, The Malaysian Insurance Institut, Kuala Lumpur, hal 14
[18] Konsep seperti ini terdapat ada asuransi Takaful Malaysia, Takaful Indonesia, Takaful Brunai, Takaful Singapura, dan pada Asuransi Takaful lainnya diberbagai negara, termasuk asuransi syariah di Indonesia.
[19] Argumentasi ulama yang berpendapat seperti ini, bahwa pada akad mudharabah pada saat bersamaan juga terdapat akad tabarru` dan hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara syar`i.
[20] M.M. Billah, Op., Cit., hal 13-14
[21] Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu al Juz` al Rabi`, Darul  Fikr, Damaskus, 1984,  hal 885
[22] Agus Haryadi (CEO Asuransi Takaful Keluarga) dalam suatu kesempatan diskusi dengan penulis seputar konsep tabarru` dan konsep musamahah pada bulan Juli 2003
[23] Muhammad Syafi`i Antonio, Spekulasi Dalam Asuransi Syariah, Republika 7 Oktober 2002
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. CATATANKU - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template