BAB I
PENDAHULUAN
Dinar emas dan dirham perak serta uang Bantu fulus (uang
tembaga) merupakan mata uang yang berlaku pada zaman Rasulullah Saw. Dasar transaksi uang tersebut
digunakan sehingga munculnya uang kertas paper money, tepatnya setelah perang
dunia 1 pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak Negara tidak menggunakan uang
emas dan untuk transaksi dan sebagai dasar mata uang. Realitas ini mejadikan para ulama berbeda pandangan dalam mengaplikasikan hukum fiqih yang
berlaku pada dirham perak dan dinar emas terhadap mata uang kertas. Dikalangan mereka ada yang
berpendapat bahwa tidak wajib zakat pada uang kertas dengan alasan terbuat dari
kertas, sedangkan mata uang yang wajib di zakati hanya pada emas dan perak.
Sebagian lagi
ada yang berpendapat uang kertas ini bukan objek suatu riba, karena menurut
Malikiyah, Syafi’iyah dan riwayat dari Hambali bahwa illat riba pada emas dan
perk adalah nilai harga. Dan sedangkan pada uang kertas berlaku hitungan. Dalam perekonomian konvensional, masalah
permintaan uang kurang begitu jelas, karena dalam perekonomian non islam,
menjadikan uang sebagai komoditas, dan lebih bahaya lagi dalam perkonomian
konvensional pada saat sekarang uang malah banyak di perdagangkan dari pada
sebagai alat tukar dalam perdagangan. Dan di sini kami mencoba membahas
bagaimana sebenarnya uang dan permintaan uang dalam islam.
Tak
sepantasnya kita sebagai ummat islam tak mau tahu dengan sejarah uang dalam
islam, apakah uang kertas yang selama ini kita gunakan tidak diinginkan oleh
agama atau sebaliknya, bisa jadi orang-orang yahudi maupun orang terdahulu
tidak menginginkan dinar dan dirham sebagai alat untuk transaksi dalam proses perdagangan,
boleh jadi karena mereka tak sepaham dengan ummat islam terdahulu.
Mudah-mudahan dalam makalah ini kita mendapatkan sebuah penjelasan yang
diinginkan teman-teman sekalian maupun dosen pembimbing saya pada mata kuliah
Dasar-dasar ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI MATA UANG
1.
Definisi uang secara etimologi (bahasa)
Definisi uang
(nuqud) ada beberapa makna:
a. Al-Naqdu: yang baik dari
dirham, dikatakan dirhamun naqdun, yakni baik. ini adalah sifat.
b. Al-Naqdu: meraih dirham, dikatakan meraih naqada al- darahima yanquduha naqdan, yakni meraih nya (menggegam, menerima).
b. Al-Naqdu: meraih dirham, dikatakan meraih naqada al- darahima yanquduha naqdan, yakni meraih nya (menggegam, menerima).
c. Al-Naqdu: membedakan dirham dan mengeluarkan yang palsu. Sibawaihi
bersyair:
“Tanfi yadaha al-Hasna fi kulli Hajiratin- Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”
yang bermakna;” Tangannya (unta) mengais-ngais di setiap padang pasir memilah-milah dirham oleh tukang uang (pertukaraan, pemeriksaann, pembuaat uang)’
“Tanfi yadaha al-Hasna fi kulli Hajiratin- Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”
yang bermakna;” Tangannya (unta) mengais-ngais di setiap padang pasir memilah-milah dirham oleh tukang uang (pertukaraan, pemeriksaann, pembuaat uang)’
d. AL-Naqdhu: Tunai, lawan tunda, yakni memberikan bayaran segera. Dalam
hadis jabir: “Naqadani al-Tsaman”, yakni dia membayarku harga tunai. Klemudian
digunakan atas yang dibayarkan, termaksud penggunaan mas dar (akar kata)
terhadap isim maf’ul (menunjukkan objek).
Dalam fiqih Islam biasa digunakan istilah nuqud
atau tsaman untuk mengekspresikan uang. Definisi nuqud dalam Islam,
antara lain:
- Nuqud adalah
semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi,
baik Dinar emas, Dirham perak, maupun Fulus tembaga.
- Nuqud adalah
segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan
pengukur nilai yang boleh terbuat dari bahan jenis apa pun.
- Nuqud adalah
sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari
logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan
oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.
- Nuqud adalah
satuan standar harga barang dan nilai jasa pelayanan dan upah yang
diterima sebagai alat pembayaran.
2. Istilah
Nuqud dalam istilah fuqaha,
Kata Nuqud
barang-barang murah. Kata Dirham, Dinar
dan Wariq terdapat tidak terdapat dalam Alquran mamupun hadis Nabi Saw. Mereka
mengunakan kata Dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, kata Dirham
unyuk menunjukan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan
kata Wariq untuk menunjukkan Dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan Dinar
emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang di
gunakan untuk membeli, dalam
Al Quran dan Hadis. Firman Allah Swt (QS Ali Imran): 75
ô`ÏBur È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$#
ô`tB bÎ)
çm÷ZtBù's? 9$sÜZÉ)Î/ ÿ¾ÍnÏjxsã
y7øs9Î) Oßg÷YÏBur
ô`¨B bÎ)
çm÷ZtBù's? 9$oYÏÎ/ w ÿ¾ÍnÏjxsã
y7øs9Î) wÎ) $tB
|MøBß Ïmøn=tã $VJͬ!$s%
3
y7Ï9ºs
óOßg¯Rr'Î/ (#qä9$s% }§øs9 $uZøn=tã
Îû
z`¿ÍhÏiBW{$#
×@Î6y
cqä9qà)tur n?tã
«!$# z>És3ø9$# öNèdur cqßJn=ôèt
ÇÐÎÈ
75. di antara ahli kitab ada
orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya
kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar,
tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang
demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi Kami
terhadap orang-orang ummi. mereka berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka
mengetahui.
Yang mereka maksud dengan orang-orang Ummi
dalam ayat ini adalah orang Arab
Dan pada ayat yang lainnya (QS Yusuf ): 20.
çn÷ru°ur ¤ÆyJsVÎ/
<§ør2
zNÏdºuy ;oyrß÷ètB (#qçR%2ur
ÏmÏù z`ÏB
úïÏÏdº¨9$# ÇËÉÈ
20.
dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja,
dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.
Maksud ayat ini yaitu, Hati mereka tidak tertarik kepada Yusuf karena
Dia anak temuan dalam perjalanan. Jadi mereka kuatir kalau-kalau pemiliknya
datang mengambilnya. oleh karena itu mereka tergesa-gesa menjualnya Sekalipun
dangan harga yang murah.
Dan pada ayat yang lainnya (QS Kahfi): 19
y7Ï9ºx2ur óOßg»oY÷Wyèt/
(#qä9uä!$|¡tGuÏ9
öNæhuZ÷t/ 4 tA$s%
×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB
öN2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9
$·Böqt
÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt 4 (#qä9$s% öNä3/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/
óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr&
öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd
n<Î)
ÏpoYÏyJø9$#
öÝàZuù=sù
!$pkr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uù=sù
5-øÌÎ/ çm÷YÏiB
ô#©Ün=tGuø9ur wur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr&
ÇÊÒÈ
19. dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling
bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka:
sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita
berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi):
"Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut
dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Nabi Saw. Bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Utsman bin Affan: “jangan kalian jual santu dinar dengan dua dinar, dan satu
dirham dengan dua dirham.” Juga Nabi Saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan
Abu Sai’d al-Khudry: “jangan kalian jual emas dengan emas, perak dengan perak
kec uali sama nilai, ukuran dan timbangannya.
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Jadi dirham dan dinar merupakan alat standar ukuran
yang di bayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit
hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada
perbandingan dengan komoditas atau jasa, Karena segala sesuatu tidak bisa
menjadi nilai harga bagi keduanya. Imam
Ghazali (wafat tahun 505 H) berkata:
Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa di ukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za’faran ini menyamai 100. keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka keduanya bernilai sama. Dia juga berkata: Kemudian di sebabkan jual beli muncul kebutuhan terhadap dua mata uang.
Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa di ukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za’faran ini menyamai 100. keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka keduanya bernilai sama. Dia juga berkata: Kemudian di sebabkan jual beli muncul kebutuhan terhadap dua mata uang.
Seseorang yang ingin makanan dengan
baju, dari mana dia mengetahui ukuran makanan dari nilai baju tersebut. Berapa?
Jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda seperti di jual baju dengan
makanan dan hewan dengan baju, barang-barang ini tidak sama, maka diperlukan
“hakim yang adil” sebagai penengah dari kedua orng yang ingin bertran saksi dan
berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itui di tuntut dari jenis harta.
Kemudian di perlukan jenis harta yang paling bertahan lama adalah barang
tambang. Maka di buatlah uang dari emas, perak, dan logam.
Beliau mengisyaratkan uang sebagai unit hitungan yang
digunakan untuk mengukur nilai harga komoditas dan jasa. Demikian juga beliau
mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan karena itu dibuat dari jenis harta
yang bertahan lama karena kebutuhan yang berkelanjutan sehingga betul-betul
bersifat cair sehingga dapat di gunakan pada waktu yang di kehendaki. Ibnu Khaldun juga mengisyaratkan uang
sebagai alat simpanan dalam perkataan beliau: “ kemudian Allah Ta’ala
menciptkan dari dua barang tambang emas dan perak, sebagai nilai untuk setiap
harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di
dunia kebanyakannya.” Ibnu Rusyd
(wafat tahun 595 H) berkata: “ketika
seseorang susah menemukan nilai persamaan antara barang-barang yang berbeda,
jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya. Apabila seseorang menjual kuda
dengan beberapa baju, nilai harga kuda itu terhadap beberapa kuda adalah nilai harga
baju itu terhadap beberapa baju. Maka jika kuda itu bernilai 50, tentunya
baju-baju jjuga harus bernilai 50.”
Demikian jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan dengan
melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a. Sebagai standar ukuaran
menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b. Sebagai media pertukaran
komoditi dan jasa.
c. Sebagai alat simpanan.
Fungsi ini di singgung oleh al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Kemudian ada
diantara fuqaha’ yang mempertegas peran tradisi (‘Urf) dalam pengukuhan uang,
dan tidak terbatas pada dua mata uang yang ada. Kenyataan ini diperkuat
pernyataan-pernyataan berikut.
1. Perkataan Sayyidina Umar Bin Khatab:”
Aku berkeingiunan membuat dirham dari kulit unta.” Lalu ada yang meberi
komentar:
“akhirnya beliau urungkan niatnya,. pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau
sempat berpikir untuk mencetak uang dari kulit Unta, tapi tidak dilakdanakan
karena khawatir unta akan punah yang pada sisi lain berfungsi sebagai alat
transportasi dan Alat jihad.”
2. Perkataan Imam Malik Bin Anas: “seandainya orang-orang membolehkan kulit-kulit hingga ada sakkah (stempel) dan benda, tentu aku benci (hukumnya makruh) dijual dengan emas dan perak secara tunda.” Yakni, jika orang-orang mengakui keabsahan kulit-kulit itu sebagai uang, maka diberlakukan hokum-hukum yang berlaku pada emas dan perak. Seperti diisyaratkannya tunai dalam satu majlis (Pertemuan) ketika terjadi transaksi pertukaran dengan mata uang lain.
2. Perkataan Imam Malik Bin Anas: “seandainya orang-orang membolehkan kulit-kulit hingga ada sakkah (stempel) dan benda, tentu aku benci (hukumnya makruh) dijual dengan emas dan perak secara tunda.” Yakni, jika orang-orang mengakui keabsahan kulit-kulit itu sebagai uang, maka diberlakukan hokum-hukum yang berlaku pada emas dan perak. Seperti diisyaratkannya tunai dalam satu majlis (Pertemuan) ketika terjadi transaksi pertukaran dengan mata uang lain.
Maka, sekarang bisa dikemukakan definisi
uang setelah memperhatikan ungkapan para Fukaha seperti berikut ini. Uang
adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga dimedia
Transaksi pertukaran. Sedangkan berdasarkan pada ungkapan Al Ghazali dan Ibnu
khaldun sebagai berikut: Uang adlah apa yang digunakan manusia sebagai standar
ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.
3. Definisi Uang menurut Para Ahli Ekonomi Masih belum ada kata sepakat tentyang difinisi uang yang spesifik. Definisi-definisi mereka berbeda disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap hakikat uang Menurut Dokter Fuad Dahman, defenisi-definisi uang yang di ajukan banyak dan berbeda-beda. Semakin bertambah seiring perbedaan para penulis dalam memandang hakikat uang dan perbedaan pengertiannya dalam pandangan mereka.
Dokter Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “segala sesuatu yang diterima khlayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban” sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai:”segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagi standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
3. Definisi Uang menurut Para Ahli Ekonomi Masih belum ada kata sepakat tentyang difinisi uang yang spesifik. Definisi-definisi mereka berbeda disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap hakikat uang Menurut Dokter Fuad Dahman, defenisi-definisi uang yang di ajukan banyak dan berbeda-beda. Semakin bertambah seiring perbedaan para penulis dalam memandang hakikat uang dan perbedaan pengertiannya dalam pandangan mereka.
Dokter Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “segala sesuatu yang diterima khlayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban” sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai:”segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagi standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
Boumul dan Gandlre
berkata:”uang mencakkup seluruh sesuatu yang diterima secara luas sebagi alat
pembayaran, diakui secara luas sebagai alat pembayaran utang-utang dan
pembayaran harga barang dan jasa.”
Dokter Nazhim Al-Syamri berkata:”setiap sesuatu yang diterima semua pihak
dengan legalitas tradisi (urf) atau undang-undang, atau nilai sesuatu itu
sendiri, dan mampu berfungsi sebagi media dalam proses transaksi pertukaran
yang beragam terhadap komoditi dan jasa, juga cocok utnuk menyelesaikan utang
piutang dantanggungan, adalah termasuk dalam lingkup uang. Dari sekian
definisi yang diutarakan, kita bisa membedakan dalam tiga segi: pertama,
definisi dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagi standar ukuran nilai, media
pertukaran dan alat pembayaran yang tertunda (Deffered Payment).
Kedua, definisi uang
dengan melihat karakteristiknya yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas
oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan perundangan
sebagi segala sesuatu yang memiliki kekuatan hokum dalam menyelesaikan
kewajiban dan tanggungan. Disini kita
menemukan bahwa para ahli ekonomi membedakan antara uang dan mata uang. Mata
uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan
memberinya kekuatan hukum yang bersifat dapat memenuhi tangungan dan kewajiban,
serta diterima secar luas. Sedangkan
uang lebih umum dari mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa
dengan uang (uang perbankan). Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang,
tapi tidak setiap uang itu mata uang antara keduanya dinamakan hubungan umum
khusus mutlak.
B.
FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam setiap sistem perekonomian, fungsi utama uang
selalu sebagai alat tukar (medium of exchange). Dari fungsi utama ini
diturunkan fungsi-fungsi lain seperti uang sebagai standard of value, store of
value, unit of account dan standard of deferred payment. Mata uang manapun
niscaya akan berfungsi seperti ini. Dalam
sistem perekonomian kapitalis, uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar
yang sah (legal tender) melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Dengan
demikian, menurut sistem ini, uang dapat diperjual belikan dengan kelebihan
baik on the spot maupun secara tangguh. Dalam perspektif ini uang juga dapat
disewakan (leasing).
Dalam Islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka
fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang
bisa dijualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu
fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk
dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan
untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi.
Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam
yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau
tujuan-tujuaannya. Menurut beliau dalam kitabnya Ihya Ulumiddin “Kedua-duanya
tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti segala-galanya”. Keduanya ibarat
cermin, ia tidak memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua warna.
Sekalipun pada masa awal Islam masyarakat sudah
terbisa bermuamalah dengan dinar dan dirham, kemungkinan untuk menjadikan
barang lain sebagai mata uang yang berfungsi sebagai medium of exchange telah
muncul dalam pikiran sahabat. Misalnya Umar bin Khattab pernah mengatakan, “
Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai alat tukar.” Pernyataan
ini keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang hakikat uang dan
fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai alat tukar
tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti emas dan perak. Kedua
logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan manakala terjadi ketidakstabilan
pada sisi permintaan maupun penawarannya. Karena itu, apapun, sesungguhnya
dapat berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta. Dalam pandangannya, ketika
suatu barang berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya
akan meniadakan fungsinya atau paling tidak akan mendominasi fungsinya sebagai
komoditas biasa.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya
bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku ( ‘urf) dan
istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan
perak. Misalnya, istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas
alami atau syari’. Dinar dan dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri
melainkan sebagai wasilah (medium of exchange) Fungsi medium of exchange ini
tidak berhubungan dengan tujuan apapun, tidak berhubungan dengan materi yang
menyusunnya juga tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan
fungsi ini tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi (Lihat, Majmuatul
Fatawa).
Pada umumnya para ulama dan ilmuwan sosial Islam
menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti
Imam Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib
al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, al-Al-Maqrizi dan Ibnu Abidin dengan jelas
menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Karena itu mata uang haruslah
bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun. Uang kertas yang lazim digunakan di zaman sekarang disebut fiat
money. Dinamakan demikian karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat
tukar dan memiliki daya beli tidak disebabkan karena uang tersebut
dilatarbelakangi oleh emas.
Dulu uang memang mengikuti standar emas (gold
standard). Namun rezim ini telah lama ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada
pertengahan dasa warsa 1930-an (Inggris meninggalkannya pada tahun 1931 dan
seluruh dunia telah meninggalkannya pada tahun 1976). Kini uang kertas menjadi
alat tukar karena pemerintah menetapkannya sebagai alat tukar. Sekiranya
pemerintah mencabut keputusannya dan menggunakan uang dari jenis lain, niscaya
uang kertas tidak akan memiliki nilai sama sekali. Banyak kalangan yang ragu-ragu atau bahkan tidak tahu hukum
uang kertas ditinjau dari sisi syariah. Ada yang berpendapat
bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga kalau orang berutang Rp.
100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak Rp. 120.000,00
dalam tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba.
Mereka
beranggapan bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak
dan yang diharamkan tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan perak,
karena itu uang kertas tidak berlaku hukum riba padanya. Jawabannya
dapat kita cari dari penjelasan yang lalu bahwa mata uang bisa dibuat dari
benda apa saja, termasuk kulit unta, kata Umar bin Khattab. Ketika benda itu
ditetapkan sebagai mata uang sah, maka barang itu berubah fungsinya dari barang
biasa menjadi alat tukar dengan segala fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat
bahwa illat dalam emas dan perak yang diharamkan pertukarannya kecuali serupa
dengan serupa, sama dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena
“tsumuniyyah” , yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan
nilai di mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.
Karena
uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah,
sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum
sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Alquran diturunkan
merupakan alat pembayaran yang sah. Karena itu riba belaku pada uang
kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan
zakat dari padanya. Zakatpun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai
alat untuk membayar mahar.[1]
C.
PERSPEKTIF UANG DALAM EKONOMI ISLAM
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat
tidak dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan
oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya
seorang individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman,
merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan,
setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau
jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang
dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi
sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi.
Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia
Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al
Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan
perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut
sebagai dinar dan dirham.
Uang dalam bahasa Arab disebut “Maal”, asal katanya
berarti condong, yang berarti menyondongkan mereka kearah yang menarik, dimana
uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya-tembaga,
emas, dan perak. Menurut Umar ra. diriwayatkan[2],
uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran
dalam muamalah manusia. Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW.
mata uang menggunakan sistem bimetallic standard (emas dan perak) demikian juga
pada masa Bani Umayyah dan Bani Abassiyah. Dalam pandangan Islam mata uang yang dibuat dengan emas
(dinar) dan perak (dirham) merupakan mata uang yang paling stabil dan tidak
mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik sama dengan nilai riil.
Mata uang ini dipergunakan bangsa arab sebelum datangnya Islam.
Dalam Alquran ada beberapa ayat yang menunjukkan
pengertian uang dan keabsahan penggunaan uang sebagai pengganti sistem barter.
Kata-kata yang menunjukkan pengertian ‘uang’ dalam Alquran ada beberapa macam,
yaitu :
a.
Dinar ( د ينا ر ),
yaitu QS. Ali Imran : 75
b.
Dirham ( د ر هـم / د را هـم ), yaitu QS. Yusuf : 20
c.
Emas dan perak ( ذ هـب / فضـة ), penggunaan kata-kata emas dan
perak ini banyak terdapat dalam al-Qur’an antara lain pada QS. At-Taubah : 34.
d.
Waraq atau uang tempahan
perak ( و ر ق ),
yaitu pada QS al-Kahfi ayat 19
e.
Barang-barang niaga yang
biasa dijadikan alat tukar ( بضـا عـة ),
tersebut antara lain pada QS. Yusuf ayat 88.
Ekonomi Islam secara jelas
telah membedakan antara money dan capital.
Dalam Islam, Uang adalah adalah public
good/milik
masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif)
berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian
terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia
cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal
(zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas
yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang
penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah disebutkan
dalam QS. At Taubah 34-35 berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) #ZÏW2 ÆÏiB Í$t6ômF{$# Èb$t7÷d9$#ur tbqè=ä.ù'us9 tAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ crÝÁtur `tã È@Î6y «!$# 3 úïÏ%©!$#ur crãÉ\õ3t |=yd©%!$# spÒÏÿø9$#ur wur $pktXqà)ÏÿZã Îû È@Î6y «!$# Nèd÷Åe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OÏ9r& ÇÌÍÈ
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian
besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
Pöqt
4yJøtä $ygøn=tæ
Îû
Í$tR
zO¨Zygy_ 2uqõ3çGsù $pkÍ5
öNßgèd$t6Å_
öNåkæ5qãZã_ur
öNèdâqßgàßur
(
#x»yd $tB
öNè?÷t\2 ö/ä3Å¡àÿRL{
(#qè%räsù $tB
÷LäêZä.
crâÏYõ3s?
ÇÌÎÈ
”Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Uang Dalam Pandangan
al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth
of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya
“Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak
dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya adalah uang diciptakan untuk
memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin
yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna.[3]
Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan
harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak
memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya
adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan
memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang
juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau
menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di
negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan
neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang
sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor
produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya.[4]
Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai
uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau
penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply)
dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga
keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak
daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya.
Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan
terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang.
Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya
beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Alquran,
al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat,
karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran.
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran
uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian
menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau
mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri
adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu
dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan
merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
D. SEJARAH UANG
Para ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata uang
merupakan peristiwa sangat signifikan dalam sejaarah ekonomi umat manusia. Itu
berpijak pada landasan kepentingan pengembangan ekonomi; memfasilitasi
pembagian tenaga kerja, pendirian industri, pemasaran barang dan
jasa dan
lain sebagainya. Pada sisi komersial dan
eksistensi social masyarakat, uang merupakan hasil ciptaan yang esensial, di
mana segala sesuatunya berpijak pada dasar itu. Uang memiliki berbagai fungsi
yang berbeda, seperti sebagai alat tukar nilai, media pertukaran, nilai
simpanan dan standar pembayaran yang tertunda. Dalam pandangan ahli ekonomi,
fungsi sebagai media pertukaran merupakan yang paling penting. Sebagaimana
pernyataan Crowther lagi : “uang harus difungsikan sebagai alat pengukur nilai,
medium pertukaran dan simpanan kekayaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
fungsi uang adalah pertama sebagai alat tukar/sehingga dengan uang bisa
ditentukan nilai dari suatu transaksi.
Ibnu Taimiyyah mengatakan : fungsi uang adalah athman (jamaknya thaman
adalah harga atau sesuatu yang dibayarkan sebagai pengganti harga). Dimaksudkan
sebagai alat tukar dari nilai suatu benda. Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith
menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali
telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan fungsi uang
adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar
dari pertukaran tersebut. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi
dapat merefleksikan semua warna.
Sehingga apabila fungsi dari uang itu sendiri sudah berubah dari esensi dasarnya sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Di samping itu pula nilai intrinsic yang ada dalam sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
Sehingga apabila fungsi dari uang itu sendiri sudah berubah dari esensi dasarnya sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Di samping itu pula nilai intrinsic yang ada dalam sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
Di dalam sejarah Islam belum pernah terjadi krisis seperti yang
sekarang terjadi, mata uang memang ralatif stabil manakala nilainya masih
disandarkan pada emas.
Sejak zaman Nabi SAW hingga Dinasti Ustmaniyah, hanya dikenal uang emas dan
perak, uang kertas tidak dikenal sama sekali. Sebenarnya mata uang ini dibentuk
dan dicetak oleh kekaisaran Romawi, kata dinar berasal dari kata “Denarius”
(Bahasa Romawi Timur), dan dirham berasal dari kata “Drachma” (Bahasa
Persia).(Leicester, 1990). Kemudian bangsa Arab mengadopsinya untuk dijadikan
system mata uang mereka. Dan sepanjang kehidupannya Nabi SAW tidak pernah
merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang, artinya Nabi SAW dan para
sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.
Dalam prosesnya memang terjadi perubahan, misalkan pada masa Umar,
beliau hanya merubah dengan pemberian gambar tambahan bertuliskan alhamdulillah
dan dibaliknya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Setiap sepuluh dirham beratnya
4 mitsqal. Beliau sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya, namun belum
sempat mencetak uang dinar yang lain. Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan, dia mencetak mata uang baru dinar dan dirham di bawah pengawasan
pemerintah. Dengan bentuk dan karakteristik pencetakan islami dan penggunaan
dinar dan dirham ini berakhir seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki
Utsmani pada tahun 1924 bersamaan dengan berakhirnya perang dunia I.
Secara alamiyah transaksi yang berada di daaerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham.
Secara alamiyah transaksi yang berada di daaerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham.
Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaaran Persia (Irak,
Iran, Bahrain dan Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir dan
Andalusia) menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa
pemerintahan imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang
digunakan. Dinar dan dirham dinilai mempunyai nilai yang tetap. Karena itu,
tidak ada masalah dalam perputaran uang.
Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang merusak. Dimana tanpa adanya nilai dasar dari suatu barang maka akan sulit menentukan berapa nilai suatu barang itu. Misalnya dengan pertukaran barter bisa mengundang niat buruk ke dalam berbagai macam transaksi, dan akibatnya “yang merusak moral” yang ditimbulkan boleh jadi merupakan alasan mengapa Nabi SAW pertukaran barter.[5]
Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang merusak. Dimana tanpa adanya nilai dasar dari suatu barang maka akan sulit menentukan berapa nilai suatu barang itu. Misalnya dengan pertukaran barter bisa mengundang niat buruk ke dalam berbagai macam transaksi, dan akibatnya “yang merusak moral” yang ditimbulkan boleh jadi merupakan alasan mengapa Nabi SAW pertukaran barter.[5]
BAB III
KESIMPULAN
Demikian jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan denan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
KESIMPULAN
Demikian jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan denan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a. .sebagai standar ukuaran
menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b. Sebagai media pertukaran
komoditi dan jasa.
c. Sebagai alat simpanan. Fungsi
ini di singgung oleh al-Ghazali dan ibnu Khaldun.
Pada akhirnya pembahasan ini kita dapat mengutib beberapa kesimpulan: Pertama, hukum Islam sifatnya flesibel. Sebab, dalil-dalil dasar menetapkan bahwa permasalahan yang ada di dunia ini, sekalipun tidak akan berakhir, tapi ia tidak akan keluar dari prinsi-prinsip dasar yang telah ditetapkan. Kedua, dizaman Rasulullah Saw uang tidak di cetak, tetapi ikrarnya beliauterhadap timbangan penduduk Makkah, berarti menyetujui untuk menetapkan berat uang- sekalipun ini hanya perkiraan loqika-sehingga semua takaran dan ukuran yang di tetapkan oleh hukum berasal dari berat tersebut. Adapun Negara Romawi dan Persia, keduanya mengalami kekacauan yang di sebabkan oleh tidak berpegangnya pada timbangan tertentu.
Ketiga, permintaan uang dalam Islam
Pada akhirnya pembahasan ini kita dapat mengutib beberapa kesimpulan: Pertama, hukum Islam sifatnya flesibel. Sebab, dalil-dalil dasar menetapkan bahwa permasalahan yang ada di dunia ini, sekalipun tidak akan berakhir, tapi ia tidak akan keluar dari prinsi-prinsip dasar yang telah ditetapkan. Kedua, dizaman Rasulullah Saw uang tidak di cetak, tetapi ikrarnya beliauterhadap timbangan penduduk Makkah, berarti menyetujui untuk menetapkan berat uang- sekalipun ini hanya perkiraan loqika-sehingga semua takaran dan ukuran yang di tetapkan oleh hukum berasal dari berat tersebut. Adapun Negara Romawi dan Persia, keduanya mengalami kekacauan yang di sebabkan oleh tidak berpegangnya pada timbangan tertentu.
Ketiga, permintaan uang dalam Islam
1. Karena adanya kebutuhan.
2. Untuk berjaga-jaga sebagai kebuthan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
Ekonesia.
A. Karim, Adiwarman, 2007, Ekonomi Makro Islami,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
EkonomIslam(Online)(http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/konsep_uang_dalam_ekonomi_islam/),
diakses 10 Oktober 2009
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !