PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH
A. Perkembangan Umum
Akuntansi
Hampir seluruh ‘peta’
akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat)
di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat
dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis.
Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro
Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi
akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan
terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of
Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI).
Perkembangan terbaru,
saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk
internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan,
workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai
standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan
Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010.
Dunia bisnis tak kalah,
semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan
akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit
sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi
kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah
akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%.
Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat
Indonesia.
Padahal bila kita lihat
lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan
besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan
pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang
tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang
melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga
mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a;
Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006). Ketika akuntansi tidak bebas
nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih
didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti
kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki
kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program
neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa
proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi
pula.
Pertanyaan lebih lanjut
adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas
kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan
tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh
lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia
yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
B. Akuntansi Syariah:
Antara Aliran Pragmatis dan Idealis
Perkembangan akuntansi
syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi
diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama
berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan
dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah
pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syariah
pragmatis dan idealis.
1. Akuntansi Syariah
Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi
syariah pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori
akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga
misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya).
Modifikasi dilakukan
untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami
yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan
syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam
kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic
Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK
No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam tujuan akuntansi syariah aliran pragmatis yang masih berpedoman
pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada
pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih
jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI
misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda
dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran
kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan
mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan
mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syariah; laporan
responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya
manusia untuk bank syari’ah.
Ketentuan AAOIFI lebih
diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan
lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang
longgar tersebut, membuka peluang perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi
daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari
beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003),
Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain
dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan
keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar
AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan
disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya,
laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan
sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan
bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta
pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004)
juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di
Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang
dilakukan, telah sesuai tujuan syariah (maqasid syariah). Tetapi ketika
berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di
Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai
syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa
laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah.
Pertama, hampir seluruh
negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh
pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan
syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah
pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem
ekonomi sekularis-materialis-kapitalis.
Pola yang establish ini
mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan
Pengawas Syariah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya.
Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi
lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah
memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
2. Akuntansi Syariah
Aliran Idealis
Aliran Akuntansi
Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan
longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya,
landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan
dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan
laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan
2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a).
Landasan filosofis
seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk
teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari
pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK
101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis
entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern
dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono
(2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59
masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan
akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan
keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan
akuntansi syariah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas
(Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a;
Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis
akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut akuntansi syariah
aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena
menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah,
seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya
partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi.
Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi
bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut
mengakui eksistensi dari indirect participants.
Berdasarkan
kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001)
mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini
stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect
participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang
terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham,
manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect
stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan,
terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan
lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
3. Komparasi Antara
Akuntansi Syariah Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat
ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syariah
pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis
memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity
theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan
seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi
pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih melakukan
perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi
teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada;
sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar
teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran
pragmatis dan idealis,
C. Proyek Implementasi
Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian bentuk
teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA)
dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh
Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya
dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai
tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan
hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA
agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut
Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan
source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett
(1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003;
2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan
nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan
secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai
bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif
saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk
menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS
(distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman
(2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan
Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat
aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang
bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan).
Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama,
pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam
bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas
dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak.
Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Mulawarman, Aji Dedi.
2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah
Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi.
2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X.
Unhas Makassar. 26-28 Juli
Mulawarman, Aji Dedi.
2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi “Kekayaan
Altruistik Islami”. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi.
2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal.
Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
Mulawarman. 2006.
Proses rekonstruksi sinergis VAS dan EVAS untuk membentuk SVAS.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !