Investasi dana zakat merupakan topik penting yang menjadi perhatian para
praktisi maupun pemikir zakat kontemporer saat ini. Berbagai diskusi, simposium
maupun seminar di kalangan lembaga zakat negara-negara Islam, kerap digelar
dalam tiga tahun terakhir ini. Fenomena ini mengindikasikan betapa perkembangan
ekonomi modern yang menuntut adanya investasi dan pertumbuhan dana mulai
mempengaruhi pola pikir para praktisi zakat karena zakat sebagai salah satu
instrumen penting dalam peningkatan kesejahteraan umat, sehingga perlu dikelola
lebih baik dan berdaya guna.
Bagaimana jika
investasi dilakukan oleh calon muzakki? Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum
dasar dari membayar zakat adalah bersegera (fauriyyah), bukan bisa ditangguhkan (al-Tarakhi). Karenanya menunda-nunda pembayaran
zakat oleh calon muzakki itu tidak diperbolehkan, termasuk dengan cara
investasi sekalipun. Hanya sebagain kecil ulama semisal al-Jassas yang
menyatakan bahwa hukum dasar membayar zakat bersifat mutlak sehingga tidak ditentukan
kapan dan tempat penunaiannya itu. Karena bersifat mutlak, maka bolehlah
muzzaki menangguhkannya dalam tempo yang diperbolehkan.
Bagaimana hukum
investasi zakat yang sudah di tangan imam atau yang mewakilinya? Sebagian ulama
semisal Wahbah Zuhaily, Abdullah Nashih Ulwan, Muhamad Atha’ al-Sayyid dan
Syekh Taqy Utsmany menyatakan keharaman investasi dana zakat. Argumen kelompok
ini sebagai berikut. Pertama, Investasi dana zakat dalam bentuk apapun
menangguhkan sampainya pembagian harta kepada yang berhaknya, padahal
pembayaran zakat itu sendiri harus fauriyyah. Kedua, Investasi dana zakat dalam bentuk apapaun
mengancam adanya kerugian atau kerusakan karena bisnis hanya akan mengenal satu
dari dua kemungkinan, untung atau merugi. Ketiga, Investasi
dana zakat dalam bentuk apapun akan menyedot
dana operasional lebih banyak dari dana zakat terkumpul itu sendiri. Keempat, Investasi dana
zakat dalam bentuk apapun menyebabkan hilangnya kepemilikan harta secara
personal karena semua dana hak asnaf berupa kepemilikan kolektif. Ini tentu
bertentangan dengan pendapat jumhur fuqaha yang mensyaratkan adanya kepemilikan
harta yang sempurna bagi mustahik saat pembayaran zakat. Kelima, Peran imam
atau yang mewakilinya hanyalah kolektor, bukan manager pengelolaan.
Sementara menurut
jumhur ulama semisal Yusuf Qaradawi, Abdul Fattah Abu Guddah, Abdul Aziz
Khayyath, Abdus Salam Ibady, Muhamad Salih, Mustafa Al-Zarqa dan Hasan Abdullah
al-Amin, hukum menginvestasikan dana zakat adalah halal. Argumen jumhur ini
adalah sebagai berikut. Mustafa al-Zarqa mengatakan, “Investasi adalah
pengelolaan harta untuk meraih keuntungan. Maka dana zakat bisa diinvestasikan
dalam bentuk apapun selama dikelola oleh tangan-tangan profesional” (Majalah
al-Majma al-Fiqhy al-Islamy, no. III juz 4 h. 404).
Yusuf Al-Qardawi
juga berpendapat, “Berdasarkan madzhab yang paling sahih, bisa dikatakan bahwa
lembaga zakat boleh menginvestasikan dana zakat yang diterima secara melimpah
dalam bentuk apapun seperti ruko dan yang sejenisnya. Hasil yang didapat dari
investasi tersebut bisa disalurkan kepada para mustahik secara periodik. Bentuk
investasi dana zakat itu tidaklah boleh dijual dan dialihkan kepemilikannya
sehingga menjadi bentuk setengah wakaf” (Yusuf Qardawi, Atsar al-Zakat lil afrad wa al-mujtamaat, paper dalam seminar Zakat I tahun 1984).
Menurut jumhur,
alasan pembolehan investasi dana zakat ini adalah sebagai berikut.Pertama, Nabi dan para
khulafaur rasyidin pernah menginvestasikan dana-dana zakat berupa onta dan
kambing. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Nabi pernah meminum susu dari
hewan-hewan ternak zakat di Madinah yang kesemuanya itu ditempatkan ditempat
peternakan khusus dengan diurus para pengeggemba yang digaji sehingga
peternakan tersebut menghasilkan pengembangan ternak secara signifikan (HR
Bukhari). Berdasarkan riwayat Zaid bin Aslam, hal serupa pernah dilakukan Umar
ketika meminum susu dari ternak-ternak hasil zakat yang dikembangkan. Pendapat
yang mengatakan bahwa pembayaran zakat itu harus segera, itu berlaku bagi
muzakki, bukan imam atau lembaga pengelolanya.
Kedua, Perluasan arti “fi sabilillah” yang
diartikan segala bentuk kebaikan seperti membangun benteng, merenovasi masjid,
membangun pabrik dan lain-lain seperti yang dinukil al-Razy dalam tafsirnya
(Juz 16 h. 115). Jika pengalokasian dana zakat dalam bentuk kebaikan apapun,
maka investasi dalam bentuk perdagangan dan pabrik tentu lebih utama karena
bisa mendatangkan keuntungan bagi para mustahik itu sendiri. Hal ini diperkuat
oleh pendapat al-Nawawi yang menyatakan bahwa imam boleh menyalurkan dana zakat
secara langsung atau tidak langsung melalui penyewaan atau investasi bentuk
apapun (Al-Nawawi, al-Majmu jilid 6 h. 160).
Ketiga, hadits-hadits
tentang anjuran bekerja dan menginvestasikan property apapun yang dimiliki
seseorang, seperti dalam hadits riwayat Anas dalam sunan Abu Daud. Keempat,mengqiyaskan kepada bolehnya menginvestasikan
harta anak yatim oleh para walinya, sebagaimana sabda nabi,”Carilah keuntungan
dari harta anak yatim yang tidak akan ada kewajiban sedekah atasnya”. (HR
al-Baihaqi). Kelima, berpijak
pada konsep istihsan,maka kendati secara
eksplisit tidak ditemukan anjuran investasi secara langsung, tetapi adanya
situasi dan kebutuhan modern saat ini, maka investasi dana zakat ini sangat
bermanfaat terutama bagi para mutshik. Nampak sekali adanya aspek kemaslahatan
yang besar jika dana zakat bisa dikelola melalui investasi yang cerdas.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !