Headlines News :
Home » » Etika Usaha Islami

Etika Usaha Islami

Written By Unknown on Selasa, 13 November 2012 | 21.20



ETIKA USAHA ISLAMI
Iwan P. Pontjowinoto
Masyarakat Ekonomi Syariah, Ramadhan 1423H



PENDAHULUAN

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al Qur’an surat Al Isra’ ayat 16)

Sebagai dampak dari krisis yang berkepanjangan, banyak pihak yang mulai mencari jawaban yang lebih hakiki atas penyebab terjadinya krisis yang berkepanjangan ini. The ADB Institute dalam laporannya menyatakan bahwa penyebab the Asian Crisis adalah (1) weakness within the Asian economies, especially poor financial, industrial and exchange rate policies; (2) over-investment in dubious activities resulting from moral hazard; (3) the creditor panic; and (4) depletion of foreign reserves and the central banks inability to maintain the exchange rate regime. Dari ke-empat penyebab ini, moral hazard dianggap menjadi penyebab utama dari kerawanan ekonomi terhadap krisis. Karena itu masyarakat mulai melihat diperlukannya cara pengaturan (governance) yang lebih baik – untuk dunia usaha maupun untuk pemerintah. Salah satu aspek yang ingin dikaji kembali adalah etika usaha dan etika pemerintahan. Sehingga sistim Ekonomi Syariah yang berlandaskan etika keimanan yang diyakini paling sesuai dengan cara hidup manusia mulai banyak dikaji.


ETIKA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Etik adalah (1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak, atau (2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedangkan Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (ahlak).

Kegiatan Usaha adalah segala kegiatan manusia untuk memperoleh hasil yang positif dari interaksi dengan manusia (atau kelompok manusia) lainnya. Sedangkan Perusahaan adalah kumpulan atau kelompok orang yang bergabung dalam suatu organisasi untuk melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan suatu tata nilai tertentu dan mengikat diri untuk mengikuti suatu tata aturan tertentu.

Etika Usaha adalah ilmu yang mengatur hubungan antar perorangan dengan kelompok/organisasi, serta antara kelompok/organisasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) serta dengan masyarakat luas.

Mengingat pranata yang dipakai dalam penerapan Etika adalah Nilai (Values), Hak (Rights), Kewajiban (Duties), Peraturan (Rules), dan Hubungan (Relationship). Maka untuk memahami Etika Usaha Islami, haruslah diketahui tata nilai yang dianut manusia, hak dan kewajiban manusia di dunia, serta ketentuan aturan dan hubungan yang harus dipatuhi manusia baik yang menyangkut hubungan antar manusia, hubungan dengan alam dan tentunya hubungan dengan Allah SWT.


KONSEP PERAN MANUSIA

Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus difahami peran (dan tugas) manusia di dunia. Allah SWT telah berfirman dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56:
 
وَمَا خَـلَـقْتُ  الْجـِن َّ  وَالإِنْسَ   إِلا لِيَــعْبُدُونِ
Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.

Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha.

Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana difirmankan dalam surat Al Baqarah ayat 30:

وإذ ْ قَالَ رَبُّك َ لِلْملَـئــِكَةِ   إِنــِّي جَاعــِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيــفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”


dan surat Al A’raf ayat 128:

إِن َّ الأَرْض  َ لِلَّهِ  يـُورِثُهــَا مـَنْ يَشَــاءُ مِنْ عــِبَادِهِ

 “Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”

Karena itu semua tindakan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah SWT untuk memanfaatkan bumi yang telah dipusakakan kepada manusia untuk sebanyak-banyak manfaat dan maslahat bagi manusia, sesuai dengan ketentuan Allah SWT.


KONSEP SYARIAT

Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan manusia disebut sebagai syariat yang artinya adalah jalan atau hukum/aturan. Dan tentunya syariat bagi umat Islam adalah syariat Islam. Menurut Imam Ghazali, tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan (aqidah), kehidupan, akal, keturunan dan harta benda (mal) mereka. Segala sesuatu yang menjamin terlindungnya kelima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan oleh karenanya dikehendaki oleh manusia.

Pendapat ahli fikir Islam ini sangat baik untuk dijadikan panduan dalam menentukan prioritas hidup. Urutan kelima perkara yang dikemukakan oleh Imam Ghazali pantas menjadi urutan prioritas hidup. Keimanan atau aqidah haruslah selalu menjadi prioritas utama. Segala sesuatu yang dapat mengganggu apalagi sampai mengurangi keimanan haruslah ditinggalkan. Kemudian kehidupan haruslah didahulukan daripada akal, atau hasil penalaran akal tidak boleh dipakai untuk mengganggu nilai kehidupan. Dan selanjutnya keturunan dan harta benda tidak boleh membuat manusia kehilangan akal.

Itulah sebabnya cita-cita manusia haruslah untuk menegakkan agama Allah – agama Islam – serta semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, kepada siapa manusia mengabdi. Contoh yang paling sempurna tentunya adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang rasul cita-cita Nabi Muhammad adalah berdakwah untuk menegakkan agama Islam, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Demi Allah, seandainya mereka meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan da’wah ini, tak akan aku tinggalkan hingga Allah SWT memenangkan agama ini atau aku binasa tanpa agama”

Ahli fikir Islam, Ibnu Qayyum juga menyatakan bahwa orang yang tinggi cita-citanya hanya menggantung segala urusannya kepada Allah, tidak mengharapkan sesuatu balasan kecuali ridha Allah. Tingkah laku dan etika yang menghiasi pribadinya menjadi dasar dalam berda’wah yang tidak ditukar dengan sesuatu yg merusak kepribadiannya. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam akan menentukan kepribadian seorang muslim yang tentunya akan tercermin dalam tingkah lakunya sehari-hari, termasuk tingkah laku dalam berusaha dan dalam menghadapi tantangan hidup di dunia.


TATA NILAI ISLAMI

Dalam menjalankan perannya sebagai wakil Allah SWT menjadi Khalifah di dunia, manusia harus mengikuti tata nilai yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tata nilai tersebut mengacu pada tujuan hidup manusia, yaitu memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Allah SWT telah menentukan bahwa kesejahteraan di akhirat lebih penting dari kesejahteraan di dunia, namun Allah SWT juga memperingatkan manusia untuk tidak melupakan haknya atas kenikmatan di dunia, antara lain sebagaimana tercantum dalam surat Asy Syura ayat 20:

مَنْ كَــانَ   يُرِيـدُ حَرْثَ  الأخِرَةِ  نَزِدْ لَهُ فـِي حَــرْثِهِ   وَمَنْ كَــانَ   يُرِيدُ حَـرْثَ   الدُّنْيــَا  نُؤْتــِهِ  مِنْـــهَا وَمَـا لَـهُ فِي اْلأخـِرَةِ  مِن ْ  نَصِــــيبٍ

     “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat

dan surat Qashash ayat 77:

وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّار َ الأخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”

Dalam menjalankan tugas mengabdi kepada Allah SWT sebagai khalifah di dunia, manusia juga diperingatkan untuk tidak terperosok dalam kenikmatan menggunakan rahmat Allah SWT semata-mata untuk memenuhi hasrat pribadi saja.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ

“Dijadikan indah pada manusia kecintaan pada syahwat dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak …”. (Q.S. Ali Imran:14))

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar Ruum : 41)

Islam juga menjanjikan bahwa semua manusia pasti akan memperoleh balasan yang sempurna atas segala sesuatu yang diusahakannya. Balasan tersebut dijanjikan oleh Allah SWT akan sempurna dalam jumlah maupun waktu menurut ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT. Walaupun memang harapan manusia mungkin berbeda dengan ketentuan Allah, sehingga manusia yang tidak pandai bersyukur dapat merasa kecewa dengan ketentuan Allah tersebut.

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى.وَأَنْ لَيْسَ  لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى . وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى

“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian (kelak) akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (Q.S. An Najm 38-40)

Islam menyatakan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah SWT, dan sebagian manusia dijadikan untuk menguasainya dengan amanah untuk menafkahkan di jalan Allah karena sebagian dari harta tersebut terdapat bagian tertentu yang menjadi hak orang lain.

ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang telah jadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang beriman diantara kamu dan menafkahkan hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al Hadiid:7)

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ . لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

”Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak mempunyai apa apa (yang tidak mau meminta)” (Q.S. Al Ma’arij : 24-25)

Demikianlah tata nilai menurut ajaran agama Islam, dimana :

  1. Kesejahteraan di akhirat lebih utama dari kesejahteraan di dunia, namun manusia tidak boleh melupakan haknya atas kenikmatan dunia.
  2. Namun di lain pihak, kenikmatan dunia tidak boleh membuat manusia melupakan kewajibannya sebagai abdi Allah dan sebagai khalifah di dunia.
  3. Manusia tidak akan memperoleh kecuali yang diusahakannya, dan Allah SWT menjamin akan mendapat balasan yang sempurna.
  4. Dalam setiap rahmat dari Allah berupa harta yang diterima oleh manusia, terdapat hak orang lain. Oleh karena itu harta harus dibersihkan dengan mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah.


DASAR KONSEP BERUSAHA

1.       Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)

Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia –jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja- untuk hanya mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan –dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلاًلا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

”Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah 168)

Oleh karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:

Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya…. ……Ingat! Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adalah hati” (Hadits)

Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, bila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak halal –termasuk yang syubhat – tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.

(Bersambung)
2.       Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا  لا تَأْكُــلـُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَــاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُـــونَ تِجــَارَةً عــَنْ تــَرَاضٍ مِنْكُـــمْ

 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)

 

Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman –jadi bukan kepada seluruh manusia- agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. Jalan perniagaan itu sendiri mungkin sudah cukup jelas, namun kaidah ‘berlaku secara ridho sama ridho’ –bukan sekedar ‘suka sama suka’- mungkin tidak terlalu jelas. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:

    

Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.

 

Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan penilaian yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.


3.       Uang adalah alat tukar nilai.

Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.

 

Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang positif.


Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar nilai, maka uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan perak, maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:

وَالَّذِينَ   يَكْنِزُونَ  الذَّهَبَ وَالْفِضَّـــةَ  وَلاَ  يُنْفِقُونَهَــا فِي سَبِيــلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيــمٍ

 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).”



4.       Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko yang melebihi kemampuan.

Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu –termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan takwa.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كــُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَ لا َّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

 

“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)

 

Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan dimana berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ  بِالْعــَدْل ِ وَالإِحْسَــــانِ

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)

 

Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ

 

“..Maka sempurnakanlah  takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al An’am:152)


وَالسَّمَـــاءَ رَفَعَهـــَا وَوَضـــَعَ الْمِيزَانَ . أَلاَّ تَطْغــَوْا فِي الْمِيزَان ِ. وَأَقِيـمُوا الْوَزْنَ بِالْقِســـــْطِ وَلاَ تُخْسـِرُوا الْمِيزَانَ

 

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7,8,9)


Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu –bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu yang berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang menipu. 

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُـرَّ نّـــَكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

 

“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena) seorang penipu (al gharuur)”. (Q.S. Al Faatir: 5)


“Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)


Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilita untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan sehingga harus difikirkan dengan matang.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya,

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir”.(Q.S. Al Baqarah:219)



 
5.       Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.

Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

 

 “Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ


“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)


وَأَوْفُوا بِعَهــــْدِ اللَّهِ إِذَا عَــاهَدْتُــمْ وَلاَ تَنْقُضُوا الأ َيْمــَانَ بَعْدَ تَوْكـــِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتـــُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيــلاً

 

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)


TATA NILAI BERUSAHA

 

Sehingga hakekat dari tata nilai berusaha yang sesuai dengan Syariah Islam adalah sebagai berikut:

q     Melakukan Usaha adalah semata-mata untuk mendapatkan hasil yang Halal dan Baik (Thoyib).

q     Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat

q     Uang semata-mata adalah Alat Tukar Nilai sehingga uang tidak dapat menjadi obyek perniagaan (komoditi).

q     Berlaku adil dengan menghindari kondisi memungkinkan Keraguan yg Menipu dan pengambilan Resiko yang Berlebihan

Ø    Transparansi transaksi

Ø    Praktek terbaik dlm pengelolaan (corporate governance)

Ø    Prinsip kehati-hatian (prudential management)

q     Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.

 

Kemampuan Pengelolaan Usaha didifinisikan sebagai kemampuan untuk mewujudkan suatu Idea (mencapai Tujuan Usaha) melalui Sumber Daya yg dapat diperoleh (sumber daya manusia, sumber daya alam, keuangan, harta) dalam Batasan yang ada (waktu, sumber daya, peraturan). Maka kemampuan pengelolaan usaha yang Islami adalah kemampuan pengelolaan usaha yang memenuhi tata nilai berusaha yang Islami. Kemampuan ini tidak hanya dapat dimiliki oleh umat Islam saja, tetapi semua orang yang dapat memenuhi ciri Profesional Islami sebagai berikut:       


q  Jujur dan Dapat Dipercaya (Shiddiq dan Amanah)

q  Kompeten (Ulama & Tabligh)

q  Teguh – (Istiqomah), selalu berjalan lurus, tidak mudah tergoyang

q  Cerdik – (Fathonah), mampu mencari peluang namun tidak Culas / Curang

q  Ikhlas dan Tawakal, karena percaya bahwa Allah selalu memberi yang terbaik



Wallaahu ‘alam.
Jakarta, Ramadhan 1423H

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. CATATANKU - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template