Masyarakat
Ekonomi Syariah, Ramadhan 1423H
PENDAHULUAN
“Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.”
(Al Qur’an surat
Al Isra’ ayat 16)
Sebagai
dampak dari krisis yang berkepanjangan, banyak pihak yang mulai mencari jawaban
yang lebih hakiki atas penyebab terjadinya krisis yang berkepanjangan ini. The
ADB Institute dalam laporannya menyatakan bahwa penyebab the Asian Crisis
adalah (1) weakness within the Asian economies, especially poor financial,
industrial and exchange rate policies; (2) over-investment in dubious
activities resulting from moral hazard; (3) the creditor panic; and (4)
depletion of foreign reserves and the central banks inability to maintain the
exchange rate regime. Dari ke-empat penyebab ini, moral hazard dianggap menjadi
penyebab utama dari kerawanan ekonomi terhadap krisis. Karena itu masyarakat
mulai melihat diperlukannya cara pengaturan (governance) yang lebih baik –
untuk dunia usaha maupun untuk pemerintah. Salah satu aspek yang ingin dikaji
kembali adalah etika usaha dan etika pemerintahan. Sehingga sistim Ekonomi
Syariah yang berlandaskan etika keimanan yang diyakini paling sesuai dengan
cara hidup manusia mulai banyak dikaji.
ETIKA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Etik adalah (1)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak, atau (2) nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedangkan Etika
adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (ahlak).
Kegiatan Usaha adalah segala kegiatan manusia untuk
memperoleh hasil yang positif dari interaksi dengan manusia (atau kelompok
manusia) lainnya. Sedangkan Perusahaan adalah kumpulan atau kelompok orang yang
bergabung dalam suatu organisasi untuk melakukan kegiatan bersama untuk
mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan suatu tata nilai tertentu dan
mengikat diri untuk mengikuti suatu tata aturan tertentu.
Etika Usaha adalah ilmu yang mengatur hubungan antar
perorangan dengan kelompok/organisasi, serta antara kelompok/organisasi dengan
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) serta dengan masyarakat luas.
Mengingat pranata yang dipakai dalam penerapan Etika
adalah Nilai (Values), Hak (Rights), Kewajiban (Duties), Peraturan (Rules), dan
Hubungan (Relationship). Maka untuk memahami Etika Usaha Islami, haruslah
diketahui tata nilai yang dianut manusia, hak dan kewajiban manusia di dunia,
serta ketentuan aturan dan hubungan yang harus dipatuhi manusia baik yang
menyangkut hubungan antar manusia, hubungan dengan alam dan tentunya hubungan
dengan Allah SWT.
KONSEP PERAN MANUSIA
Untuk
memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus difahami peran (dan
tugas) manusia di dunia. Allah SWT telah berfirman dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56:
وَمَا
خَـلَـقْتُ الْجـِن َّ
وَالإِنْسَ
إِلا لِيَــعْبُدُونِ
“Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan
(semata mata) agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.
Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah
semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai
abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti
perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga
termasuk tindakan dalam berusaha.
Disamping
sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Sebagaimana difirmankan dalam surat Al Baqarah ayat 30:
وإذ ْ قَالَ رَبُّك َ لِلْملَـئــِكَةِ إِنــِّي
جَاعــِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيــفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.”
dan surat Al A’raf ayat 128:
إِن َّ الأَرْض َ لِلَّهِ يـُورِثُهــَا مـَنْ يَشَــاءُ مِنْ
عــِبَادِهِ
“Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah,
dipusakakan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”
Karena
itu semua tindakan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah SWT untuk memanfaatkan
bumi yang telah dipusakakan kepada manusia untuk sebanyak-banyak manfaat dan
maslahat bagi manusia, sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
KONSEP SYARIAT
Ketentuan
Allah SWT yang berkaitan dengan manusia disebut sebagai syariat yang artinya
adalah jalan atau hukum/aturan. Dan tentunya syariat bagi umat Islam adalah
syariat Islam. Menurut Imam Ghazali, tujuan utama syariat adalah memelihara
kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan (aqidah), kehidupan,
akal, keturunan dan harta benda (mal) mereka. Segala sesuatu yang menjamin
terlindungnya kelima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan oleh
karenanya dikehendaki oleh manusia.
Pendapat
ahli fikir Islam ini sangat baik untuk dijadikan panduan dalam menentukan
prioritas hidup. Urutan kelima perkara yang dikemukakan oleh Imam Ghazali
pantas menjadi urutan prioritas hidup. Keimanan atau aqidah haruslah selalu
menjadi prioritas utama. Segala sesuatu yang dapat mengganggu apalagi sampai
mengurangi keimanan haruslah ditinggalkan. Kemudian kehidupan haruslah
didahulukan daripada akal, atau hasil penalaran akal tidak boleh dipakai untuk
mengganggu nilai kehidupan. Dan selanjutnya keturunan dan harta benda tidak
boleh membuat manusia kehilangan akal.
Itulah
sebabnya cita-cita manusia haruslah untuk menegakkan agama Allah – agama Islam
– serta semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, kepada siapa manusia
mengabdi. Contoh yang paling sempurna tentunya adalah Nabi Muhammad SAW.
Sebagai seorang rasul cita-cita Nabi Muhammad adalah berdakwah untuk menegakkan
agama Islam, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Demi Allah, seandainya mereka meletakan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan
da’wah ini, tak akan aku tinggalkan hingga Allah SWT memenangkan agama ini atau
aku binasa tanpa agama”
Ahli
fikir Islam, Ibnu Qayyum juga menyatakan bahwa orang yang tinggi cita-citanya
hanya menggantung segala urusannya kepada Allah, tidak mengharapkan sesuatu
balasan kecuali ridha Allah. Tingkah laku dan etika yang menghiasi pribadinya
menjadi dasar dalam berda’wah yang tidak ditukar dengan sesuatu yg merusak
kepribadiannya. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam akan menentukan
kepribadian seorang muslim yang tentunya akan tercermin dalam tingkah lakunya
sehari-hari, termasuk tingkah laku dalam berusaha dan dalam menghadapi
tantangan hidup di dunia.
TATA NILAI ISLAMI
Dalam
menjalankan perannya sebagai wakil Allah SWT menjadi Khalifah di dunia, manusia
harus mengikuti tata nilai yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tata nilai
tersebut mengacu pada tujuan hidup manusia, yaitu memperoleh kesejahteraan
hidup di dunia dan di akhirat. Allah SWT telah menentukan bahwa kesejahteraan
di akhirat lebih penting dari kesejahteraan di dunia, namun Allah SWT juga memperingatkan
manusia untuk tidak melupakan haknya atas kenikmatan di dunia, antara lain
sebagaimana tercantum dalam surat
Asy Syura ayat 20:
مَنْ
كَــانَ يُرِيـدُ حَرْثَ
الأخِرَةِ
نَزِدْ لَهُ فـِي حَــرْثِهِ وَمَنْ كَــانَ يُرِيدُ
حَـرْثَ الدُّنْيــَا
نُؤْتــِهِ مِنْـــهَا وَمَـا لَـهُ فِي اْلأخـِرَةِ مِن ْ نَصِــــيبٍ
“Barangsiapa menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat”
dan surat Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّار َ الأخِرَةَ
وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا
“Dan carilah dari apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”
Dalam
menjalankan tugas mengabdi kepada Allah SWT sebagai khalifah di dunia, manusia
juga diperingatkan untuk tidak terperosok dalam kenikmatan menggunakan rahmat
Allah SWT semata-mata untuk memenuhi hasrat pribadi saja.
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan pada
syahwat dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak …”. (Q.S. Ali
Imran:14))
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar Ruum : 41)
Islam
juga menjanjikan bahwa semua manusia pasti akan memperoleh balasan yang
sempurna atas segala sesuatu yang diusahakannya. Balasan tersebut dijanjikan
oleh Allah SWT akan sempurna dalam jumlah maupun waktu menurut ketentuan yang
digariskan oleh Allah SWT. Walaupun memang harapan manusia mungkin berbeda
dengan ketentuan Allah, sehingga manusia yang tidak pandai bersyukur dapat
merasa kecewa dengan ketentuan Allah tersebut.
أَلاَّ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَى.وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى . وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
“Dan bahwa seorang
manusia tiada memperoleh selain yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya
itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian (kelak) akan diberi balasan
kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”
(Q.S. An Najm 38-40)
Islam
menyatakan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah SWT,
dan sebagian manusia dijadikan untuk menguasainya dengan amanah untuk
menafkahkan di jalan Allah karena sebagian dari harta tersebut terdapat bagian
tertentu yang menjadi hak orang lain.
ءَامِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَأَنْفِقُوا
مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu
kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang telah
jadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang beriman diantara kamu dan
menafkahkan hartanya memperoleh pahala yang besar.”
(Q.S. Al Hadiid:7)
وَالَّذِينَ
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ .
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
”Dan orang-orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan
yang tidak mempunyai apa apa (yang tidak mau meminta)” (Q.S. Al Ma’arij :
24-25)
Demikianlah tata nilai menurut
ajaran agama Islam, dimana :
- Kesejahteraan di akhirat lebih utama dari kesejahteraan di dunia, namun manusia tidak boleh melupakan haknya atas kenikmatan dunia.
- Namun di lain pihak, kenikmatan dunia tidak boleh membuat manusia melupakan kewajibannya sebagai abdi Allah dan sebagai khalifah di dunia.
- Manusia tidak akan memperoleh kecuali yang diusahakannya, dan Allah SWT menjamin akan mendapat balasan yang sempurna.
- Dalam setiap rahmat dari Allah berupa harta yang diterima oleh manusia, terdapat hak orang lain. Oleh karena itu harta harus dibersihkan dengan mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah.
DASAR KONSEP BERUSAHA
1. Berusaha hanya untuk
mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah
SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia –jadi bukan hanya untuk orang
yang beriman dan muslim saja- untuk hanya mengambil segala sesuatu yang halal
dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan –dengan
mengambil yang tidak halal dan tidak baik.
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا
فِي
الْأَرْضِ حَلاًلا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
”Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah)
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah 168)
Oleh
karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia untuk hanya mengambil
hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara
perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya.
Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi
umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:
Sesungguhnya perkara
halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa
menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk
agamanya dan kehormatannya…. ……Ingat! Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia
baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh
tubuh, tidak lain ia adalah hati” (Hadits)
Jadi
sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan maka
sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, bila
hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya
segala sesuatu yang tidak halal –termasuk yang syubhat – tidak boleh menjadi
obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
(Bersambung)
2. Memperoleh hasil
usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena
saling memberi manfaat.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لا تَأْكُــلـُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَــاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُـــونَ تِجــَارَةً عــَنْ تــَرَاضٍ مِنْكُـــمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)
Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman –jadi bukan kepada seluruh manusia- agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. Jalan perniagaan itu sendiri mungkin sudah cukup jelas, namun kaidah ‘berlaku secara ridho sama ridho’ –bukan sekedar ‘suka sama suka’- mungkin tidak terlalu jelas. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.
Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan penilaian yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.
3. Uang adalah alat
tukar nilai.
Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.
Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang positif.”
Karena
dalam syariah Islam uang adalah alat tukar nilai, maka uang diperlukan untuk
memperlancar perniagaan. Artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu
dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam
perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami
hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan perak,
maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ
وَالْفِضَّـــةَ
وَلاَ يُنْفِقُونَهَــا فِي سَبِيــلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيــمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).”
4. Berlaku adil dengan
menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko yang melebihi
kemampuan.
Kemudian
dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa
memandang bulu –termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang yang
adil akan lebih dekat dengan takwa.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كــُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَ لا َّ
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)
Bahkan
Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan dimana berlaku adil
harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعــَدْل ِ وَالإِحْسَــــانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)
Dalam
perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu
dan ukuran (takaran maupun timbangan).
وَأَوْفُوا
الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ
بِالْقِسْطِ
“..Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al An’am:152)
وَالسَّمَـــاءَ رَفَعَهـــَا وَوَضـــَعَ الْمِيزَانَ . أَلاَّ تَطْغــَوْا فِي الْمِيزَان ِ. وَأَقِيـمُوا الْوَزْنَ بِالْقِســـــْطِ وَلاَ تُخْسـِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7,8,9)
Berlaku
adil akan dekat dengan takwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat
seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam
melarang untuk menipu –bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan
keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah
SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu yang
berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang menipu.
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ
اللَّهِ
حَقٌّ فَلا تَغُـرَّ نّـــَكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena) seorang penipu (al gharuur)”. (Q.S. Al Faatir: 5)
“Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)
Sebaliknya
atas harta milik sendiri dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi
kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut
mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilita untuk
membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka
tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari
keperluan sehingga harus difikirkan dengan matang.
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya,
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir”.(Q.S. Al Baqarah:219)
5. Menjalankan usaha
harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.
Sebagai
abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas nama Allah
SWT, dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang
telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan
secara ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)
وَأَوْفُوا بِعَهــــْدِ اللَّهِ إِذَا عَــاهَدْتُــمْ وَلاَ تَنْقُضُوا الأ َيْمــَانَ بَعْدَ تَوْكـــِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتـــُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيــلاً
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)
TATA NILAI BERUSAHA
Sehingga
hakekat dari tata nilai berusaha yang sesuai dengan Syariah Islam adalah
sebagai berikut:
q Melakukan Usaha adalah semata-mata untuk mendapatkan hasil yang Halal dan Baik (Thoyib).
q Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat
q Uang semata-mata adalah Alat Tukar Nilai sehingga uang tidak dapat menjadi obyek perniagaan (komoditi).
q Berlaku adil dengan menghindari kondisi memungkinkan Keraguan yg Menipu dan pengambilan Resiko yang Berlebihan
Ø Transparansi transaksi
Ø Praktek terbaik dlm pengelolaan (corporate governance)
Ø Prinsip kehati-hatian (prudential management)
q Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati.
Kemampuan Pengelolaan Usaha didifinisikan sebagai kemampuan untuk mewujudkan suatu Idea (mencapai Tujuan Usaha) melalui Sumber Daya yg dapat diperoleh (sumber daya manusia, sumber daya alam, keuangan, harta) dalam Batasan yang ada (waktu, sumber daya, peraturan). Maka kemampuan pengelolaan usaha yang Islami adalah kemampuan pengelolaan usaha yang memenuhi tata nilai berusaha yang Islami. Kemampuan ini tidak hanya dapat dimiliki oleh umat Islam saja, tetapi semua orang yang dapat memenuhi ciri Profesional Islami sebagai berikut:
q Jujur dan Dapat Dipercaya (Shiddiq dan Amanah)
q Kompeten (Ulama & Tabligh)
q Teguh – (Istiqomah), selalu berjalan lurus, tidak mudah tergoyang
q Cerdik – (Fathonah), mampu mencari peluang namun tidak Culas / Curang
q Ikhlas dan Tawakal, karena percaya bahwa Allah selalu memberi yang terbaik
Wallaahu
‘alam.
Jakarta,
Ramadhan 1423H
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !